Memahami Abjad Siswa Sd Mi Dalam Agenda Bk

8/24/2019

Memahami Karakter Siswa SD MI Dalam Program BK - Peserta didik ialah subyek utama layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Guru bimbingan dan konseling atau konselor perlu memahami karakteristik penerima didik sebagai dasar pertimbangan dalam merancang dan melaksanakan layanan bimbingan dan konseling di sekolah.

Oleh lantaran itu, pemahaman guru bimbingan dan konseling atau konselor, guru kelas dan guru mata pelajaran secara mendalam terhadap karakteristik penerima didik merupakan prasyarat yang harus dipenuhi guru bimbingan dan konseling atau konselor.

Karakteristik Peserta Didik di Sekolah Dasar


Karakteristik penerima didik SD (SD) diartikan sebagai ciri-ciri yang menempel pada penerima didik di sekolah dasar yang bersifat khas dan membedakannya dengan penerima didik pada satuan pendidikan lainnya. Karakteristik penerima didik Sekolah Dasar yang perlu dipahami mencakup aspek-aspek berikut:

1. Aspek Fisik-Motorik

Perkembangan fisik penerima didik usia SD dicirikan dengan bermacam-macam variasi dalam contoh pertumbuhannya. Keberagaman ini disebabkan lantaran beberapa hal ibarat kecukupan gizi, kondisi lingkungan, genetika, hormon, jenis kelamin, asal etnis, serta adanya penyakit yang diderita. Pada fase ini pertumbuhan fisik tetap berlangsung sehingga penerima didik menjadi lebih tinggi, lebih berat, lebih kuat.

Seiring dengan pertumbuhan fisiknya yang beranjak matang, maka perkembangan motorik penerima didik sudah sanggup terkoordinasi dengan baik. Setiap gerakannya sudah selaras dengan kebutuhan atau minatnya, sanggup menggerakan anggota badannya dengan tujuan yang jelas, ibarat (1) menggerakan tangan untuk menulis, menggambar, mengambil makanan, serta melempar bola; dan (2) menggerakan kaki untuk menendang bola dan lari mengejar teman pada dikala main kucing-kucingan.

Fase atau usia sekolah dasar (7 – 12 tahun) ditandai dengan gerak atau acara motorik yang lincah. Oleh lantaran itu, usia ini merupakan masa yang ideal untuk berguru keterampilan yang berkaitan dengan motorik, baik motorik halus maupun motorik kasar.

2. Aspek Kognitif

Pada usia sekolah dasar, penerima didik sudah sanggup mereaksi rangsangan intelektual, atau melaksanakan tugas-tugas berguru yang menuntut kemampuan intelektual atau kemampuan kognitif seperti: membaca, menulis, dan menghitung (CALISTUNG). Sebelum masa ini, yaitu masa prasekolah (usia Taman Kanak-kanak), daya pikir anak masih bersifat imajinatif, berangan-angan atau berkhayal, sedangkan pada usia sekolah dasar daya pikirnya sudah berkembang ke arah berpikir kongkrit dan rasional.

Dilihat dari aspek perkembangan kognitif, berdasarkan Piaget masa ini berada pada tahap operasi kongkrit, yang ditandai dengan kemampuan (1) mengklasifikasikan (mengelompokkan) benda-benda berdasarkan ciri yang sama, (2) menyusun atau mengasosiasikan (menghubungkan atau menghitung) angka-angka atau bilangan, dan (3) memecahkan problem (problem solving ) yang sederhana.

Kemampuan intelektual pada masa ini sudah cukup untuk menjadi dasar diberikannya banyak sekali kecakapan yang sanggup membuatkan contoh pikir atau daya nalarnya. Kepada anak sudah sanggup diberikan dasar-dasar keilmuan, ibarat membaca, menulis, dan berhitung (CALISTUNG). Pada usia 11 tahun tahapan perkembangan kognitif memasuki tahap operasional formal ditandai dengan bisa berpikir abstrak, menalar secara logis dan menarik kesimpulan dari isu yang tersedia.

Di samping itu, kepada anak juga sudah sanggup diberikan dasar-dasar pengetahuan yang terkait dengan kehidupan manusia, hewan, lingkungan alam, lingkungan sosial budaya, dan agama. Untuk membuatkan daya nalarnya, daya cipta, atau kreativitas anak, maka kepada anak perlu diberi peluang-peluang untuk bertanya, berpendapat, atau menilai (memberikan kritik) ihwal banyak sekali hal yang terkait dengan pelajaran, atau insiden yang terjadi di lingkungannya.

3. Aspek Sosial

Perkembangan sosial penerima didik usia SD ditandai dengan adanya ekspansi hubungan, di samping dengan para anggota keluarga, juga dengan teman sebaya ( peer group), sehingga ruang gerak kekerabatan sosialnya telah bertambah luas. Pada usia SD, anak mulai mempunyai kesanggupan mengikuti keadaan dari sikap berpusat kepada diri sendiri ( egosentris) kepada sikap bekerjasama ( kooperatif) atau mau memperhatikan kepentingan orang lain (sosiosentris ).

Anak mulai berminat terhadap kegiatan bersama teman sebaya, dan bertambah kuat keinginannya untuk diterima menjadi anggota kelompok ( gang), merasa tidak bahagia apabila ditolak oleh kelompoknya dan sanggup menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman sebaya maupun lingkungan masyarakat sekitarnya.

Dalam proses berguru di sekolah, kematangan perkembangan sosial ini sanggup dimanfaatkan atau dimaknai dengan menawarkan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik (seperti membersihkan kelas dan halaman sekolah), maupun kiprah yang membutuhkan pikiran (seperti merencanakan kegiatan berkemah dan membuat laporan study tour ).

Tugas-tugas kelompok ini harus menawarkan kesempatan kepada setiap penerima didik untuk menampilkan prestasinya, dan juga diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Dengan melaksanakan kiprah kelompok, penerima didik sanggup berguru ihwal sikap dan kebiasaan dalam bekerja sama, saling menghormati, bertenggang rasa, dan bertanggung jawab.

4. Aspek Emosi

Pada usia SD (khususnya di kelas-kelas tinggi, kelas 4, 5, dan 6), anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima, atau tidak disenangi oleh orang lain. Anak SD berguru untuk mengendalikan dan mengontrol verbal emosinya melalui peniruan dan latihan (pembiasaan).

Dalam proses peniruan, kemampuan orangtua atau guru dalam mengendalikan emosinya sangatlah berpengaruh. Apabila anak dikembangkan di lingkungan keluarga yang suasana emosionalnya stabil, maka perkembangan emosi anak cenderung stabil atau sehat. Sebaliknya apabila kebiasaan orangtua atau guru dalam mengekspresikan emosinya kurang stabil atau kurang kontrol (seperti: marah-marah, mengeluh), maka perkembangan emosi anak, cenderung kurang stabil atau tidak sehat.

Emosi merupakan faktor mayoritas yang menghipnotis tingkah laris individu, dalam hal ini termasuk pula sikap belajar. Emosi nyata seperti: perasaan senang, bergairah, bersemangat atau rasa ingin tahu yang tinggi akan menghipnotis individu untuk mengkonsentrasikan dirinya terhadap acara belajar, ibarat memperhatikan klarifikasi guru, membaca buku, aktif berdiskusi, mengerjakan kiprah atau pekerjaan rumah, dan disiplin dalam belajar.

Sebaliknya, apabila emosi yang menyertai proses berguru itu emosi negatif, ibarat perasaan tidak senang, kecewa, maka proses berguru tersebut akan mengalami hambatan, dalam arti individu tidak sanggup memusatkan perhatiannya untuk belajar, sehingga kemungkinan besar beliau akan mengalami kegagalan dalam belajarnya. Mengingat hal tersebut, maka guru SD seyogianya mempunyai kepedulian untuk membuat suasana proses belajar-mengajar yang menyenangkan atau kondusif.

5. Aspek Moral

Penalaran moral, yang merupakan dasar dari sikap etis. Peranan lingkungan terutama lingkungan keluarga sangat mayoritas dalam perkembangan aspek moral. Pada mulanya anak melaksanakan perbuatan bermoral dari memalsukan (mengamati) kemudian menjadi perbuatan atas prakarsa sendiri lantaran adanya kontrol atau pengawasan dari luar, namun kemudian berkembang lantaran kontrol dari dalam dirinya.

Sampai usia 7 tahun, anak mulai memasukkan nilai-nilai keluarga ke dalam dirinya. Apa yang penting bagi orang renta juga akan menjadi penting baginya. Di sinilah orang renta sanggup mengarahkan perilakunya, sehingga sesuai dengan hukum dalam keluarga. Dalam tahap inilah seorang anak mulai memahami bahwa apa yang mereka lakukan akan menghipnotis orang lain.

Pada usia 7-10 tahun, campur tangan orang sampaumur (orangtua, guru, dan sebagainya) tidak lagi terlalu ‘menakutkan’ buat anak. Anak mengetahui bahwa orang renta ialah sosok yang harus ditaati, tetapi anak juga tahu bahwa jikalau melanggar hukum harus memperbaikinya. Perasaan bahwa ‘ini benar’ dan ‘itu salah’ sudah mulai tertanam kuat dalam diri anak. Anak usia ini juga mulai memilah mana saja sikap yang akan mendatangkan ‘keuntungan’ buat mereka.

6. Aspek Religius

Kepercayaan anak kepada Tuhan pada usia ini, bukanlah keyakinan hasil pemikiran, akan tetapi merupakan sikap emosi yang berafiliasi bersahabat dengan kebutuhan jiwa akan kasih sayang dan perlindungan. Oleh lantaran itu dalam mengenalkan Tuhan kepada anak, sebaiknya ditonjolkan sifat-sifat pengasih dan penyayang. Sampai kira-kira usia 10 tahun, ingatan anak masih bersifat mekanis, sehingga kesadaran beragamanya hanya merupakan hasil sosialisasi orang tua, guru, dan lingkungannya.

Oleh lantaran itu pengamalan ibadahnya masih bersifat peniruan, belum dilandasi kesadarannya. Pada usia 10 tahun ke atas, semakin bertambah kesadaran anak akan fungsi agama baginya, yaitu berfungsi moral dan sosial. Anak mulai sanggup mendapatkan bahwa nilai-nilai agama lebih tinggi dari nilai-nilai pribadi atau nilai-nilai keluarga. Anak mulai mengerti bahwa agama bukan kepercayaan pribadi atau keluarga, tetapi kepercayaan masyarakat.

Periode usia SD merupakan masa pembentukan nilai-nilai agama sebagai kelanjutan periode sebelumnya. Kualitas keagamaan anak sangat dipengaruhi oleh proses pembentukan atau pendidikan yang diterimanya.

Oleh lantaran itu, pendidikan agama di SD harus menjadi perhatian semua pihak yang terkait, bukan hanya guru agama tetapi juga kepala sekolah dan guru-guru lainnya. Apabila pendidik telah menawarkan suri tauladan kepada anak dalam mengamalkan agama maka pada diri anak akan berkembang sikap yang nyata terhadap terhadap agama, dan pada gilirannya akan berkembang pula kesadaran beragamanya.

0 comments