Download Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) | pdf
Berikut yaitu tautan Download Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam format pdf:
Berikut kami kutipkan isi dari UU tersebut:
SALINAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2014
TENTANG
APARATUR SIPIL NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana
tercantum dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki
integritas, profesional, netral dan bebas dari
intervensi politik, higienis dari praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme, serta mampu
menyelenggarakan pelayanan publik bagi
masyarakat dan bisa menjalankan peran
sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan
bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pelaksanaan manajemen aparatur sipil
negara belum berdasarkan pada perbandingan
antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan
oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi
yang dimiliki calon dalam rekrutmen,
pengangkatan, penempatan, dan promosi pada
jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan
yang baik;
c. bahwa. . .
- 2 -
c. bahwa untuk mewujudkan aparatur sipil negara
sebagai belahan dari reformasi birokrasi, perlu
ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi
yang mempunyai kewajiban mengelola dan
berbagi dirinya dan wajib
mempertanggungjawabkan kinerjanya dan
menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan
manajemen aparatur sipil negara;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
ihwal Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 ihwal Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1974 ihwal Pokok-Pokok
Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan
nasional dan tantangan global sehingga perlu
diganti;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam karakter a, karakter b, karakter c, dan
karakter d perlu membentuk Undang-Undang tentang
Aparatur Sipil Negara;
Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG APARATUR SIPIL
NEGARA.
BAB I. . .
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat
ASN yaitu profesi bagi pegawai negeri sipil dan
pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang
bekerja pada instansi pemerintah.
2. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya
disebut Pegawai ASN yaitu pegawai negeri sipil dan
pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang
diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan
diserahi kiprah dalam suatu jabatan pemerintahan
atau diserahi kiprah negara lainnya dan digaji
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
3. Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS
yaitu warga negara Indonesia yang memenuhi
syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN
secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian
untuk menduduki jabatan pemerintahan.
4. Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang
selanjutnya disingkat PPPK yaitu warga negara
Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang
diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka
waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas
pemerintahan.
5. Manajemen ASN yaitu pengelolaan ASN untuk
menghasilkan Pegawai ASN yang profesional,
mempunyai nilai dasar, adab profesi, bebas dari
intervensi politik, higienis dari praktik korupsi, kolusi,
dan nepotisme.
6. Sistem. . .
- 4 -
6. Sistem Informasi ASN yaitu rangkaian informasi
dan data mengenai Pegawai ASN yang disusun
secara sistematis, menyeluruh, dan terintegrasi
dengan berbasis teknologi.
7. Jabatan Pimpinan Tinggi yaitu sekelompok jabatan
tinggi pada instansi pemerintah.
8. Pejabat Pimpinan Tinggi yaitu Pegawai ASN yang
menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi.
9. Jabatan Administrasi yaitu sekelompok jabatan
yang berisi fungsi dan kiprah berkaitan dengan
pelayanan publik serta manajemen pemerintahan
dan pembangunan.
10. Pejabat Administrasi yaitu Pegawai ASN yang
menduduki Jabatan Administrasi pada instansi
pemerintah.
11. Jabatan Fungsional yaitu sekelompok jabatan yang
berisi fungsi dan kiprah berkaitan dengan pelayanan
fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan
keterampilan tertentu.
12. Pejabat Fungsional yaitu Pegawai ASN yang
menduduki Jabatan Fungsional pada instansi
pemerintah.
13. Pejabat yang Berwenang yaitu pejabat yang
mempunyai kewenangan melaksanakan proses
pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian
Pegawai ASN sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
14. Pejabat Pembina Kepegawaian yaitu pejabat yang
mempunyai kewenangan memutuskan pengangkatan,
pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan
pembinaan Manajemen ASN di instansi pemerintah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
15. Instansi Pemerintah yaitu instansi sentra dan
instansi daerah.
16. Instansi. . .
- 5 -
16. Instansi Pusat yaitu kementerian, lembaga
pemerintah nonkementerian, kesekretariatan
forum negara, dan kesekretariatan lembaga
nonstruktural.
17. Instansi Daerah yaitu perangkat kawasan provinsi
dan perangkat kawasan kabupaten/kota yang meliputi
sekretariat daerah, sekretariat dewan perwakilan
rakyat daerah, dinas daerah, dan forum teknis
daerah.
18. Menteri yaitu menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan
aparatur negara.
19. Komisi ASN yang selanjutnya disingkat KASN adalah
forum nonstruktural yang sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan bebas dari
intervensi politik.
20. Lembaga Administrasi Negara yang selanjutnya
disingkat LAN yaitu forum pemerintah
nonkementerian yang diberi kewenangan melakukan
pengkajian dan pendidikan dan training ASN
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
21. Badan Kepegawaian Negara yang selanjutnya
disingkat BKN yaitu forum pemerintah
nonkementerian yang diberi kewenangan melakukan
pembinaan dan menyelenggarakan Manajemen ASN
secara nasional sebagaimana diatur dalam undangundang
ini.
22. Sistem Merit yaitu kebijakan dan Manajemen ASN
yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan
kinerja secara adil dan masuk akal dengan tanpa
membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit,
agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan,
umur, atau kondisi kecacatan.
BAB II. . .
- 6 -
BAB II
ASAS, PRINSIP, NILAI DASAR, SERTA KODE ETIK
DAN KODE PERILAKU
Pasal 2
Penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN
berdasarkan pada asas:
a. kepastian hukum;
b. profesionalitas;
c. proporsionalitas;
d. keterpaduan;
e. delegasi;
f. netralitas;
g. akuntabilitas;
h. efektif dan efisien;
i. keterbukaan;
j. nondiskriminatif;
k. persatuan dan kesatuan;
l. keadilan dan kesetaraan; dan
m. kesejahteraan.
Pasal 3
ASN sebagai profesi berlandaskan pada prinsip sebagai
berikut:
a. nilai dasar;
b. arahan etik dan arahan perilaku;
c. komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab
pada pelayanan publik;
d. kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan bidang
tugas;
e. kualifikasi akademik;
f. jaminan. . .
- 7 -
f. jaminan proteksi aturan dalam melaksanakan
tugas; dan
g. profesionalitas jabatan.
Pasal 4
Nilai dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
karakter a meliputi:
a. memegang teguh ideologi Pancasila;
b. setia dan mempertahankan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta
pemerintahan yang sah;
c. mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia;
d. menjalankan kiprah secara profesional dan tidak
berpihak;
e. membuat keputusan berdasarkan prinsip keahlian;
f. membuat lingkungan kerja yang
nondiskriminatif;
g. memelihara dan menjunjung tinggi standar etika
yang luhur;
h. mempertanggungjawabkan tindakan dan kinerjanya
kepada publik;
i. mempunyai kemampuan dalam melaksanakan
kebijakan dan jadwal pemerintah;
j. menawarkan layanan kepada publik secara jujur,
tanggap, cepat, tepat, akurat, berdaya guna, berhasil
guna, dan santun;
k. mengutamakan kepemimpinan berkualitas tinggi;
l. menghargai komunikasi, konsultasi, dan kerja sama;
m. mengutamakan pencapaian hasil dan mendorong
kinerja pegawai;
n. mendorong kesetaraan dalam pekerjaan; dan
o. meningkatkan efektivitas sistem pemerintahan yang
demokratis sebagai perangkat sistem karier.
Pasal 5. . .
- 8 -
Pasal 5
(1) Kode etik dan arahan sikap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 karakter b bertujuan untuk menjaga
martabat dan kehormatan ASN.
(2) Kode etik dan arahan sikap sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berisi pengaturan sikap semoga Pegawai
ASN:
a. melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung
jawab, dan berintegritas tinggi;
b. melaksanakan tugasnya dengan cermat dan
disiplin;
c. melayani dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa
tekanan;
d. melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
e. melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah
atasan atau Pejabat yang Berwenang sejauh tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan adab pemerintahan;
f. menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan
negara;
g. menggunakan kekayaan dan barang milik negara
secara bertanggung jawab, efektif, dan efisien;
h. menjaga semoga tidak terjadi konflik kepentingan
dalam melaksanakan tugasnya;
i. menawarkan informasi secara benar dan tidak
menyesatkan kepada pihak lain yang memerlukan
informasi terkait kepentingan kedinasan;
j. tidak menyalahgunakan informasi intern negara,
tugas, status, kekuasaan, dan jabatannya untuk
menerima atau mencari laba atau manfaat
bagi diri sendiri atau untuk orang lain;
k. memegang. . .
- 9 -
k. memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu
menjaga reputasi dan integritas ASN; dan
l. melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan
mengenai disiplin Pegawai ASN.
(3) Kode etik dan arahan sikap sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB III
JENIS, STATUS, DAN KEDUDUKAN
Bagian Kesatu
Jenis
Pasal 6
Pegawai ASN terdiri atas:
a. PNS; dan
b. PPPK.
Bagian Kedua
Status
Pasal 7
(1) PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 karakter a
merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai
pegawai tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian
dan mempunyai nomor induk pegawai secara nasional.
(2) PPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 karakter b
merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai
pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan
Instansi Pemerintah dan ketentuan Undang-Undang
ini.
Bagian. . .
- 10 -
Bagian Ketiga
Kedudukan
Pasal 8
Pegawai ASN berkedudukan sebagai unsur aparatur
negara.
Pasal 9
(1) Pegawai ASN melaksanakan kebijakan yang
ditetapkan oleh pimpinan Instansi Pemerintah.
(2) Pegawai ASN harus bebas dari efek dan
intervensi semua golongan dan partai politik.
BAB IV
FUNGSI, TUGAS, DAN PERAN
Bagian Kesatu
Fungsi
Pasal 10
Pegawai ASN berfungsi sebagai:
a. pelaksana kebijakan publik;
b. pelayan publik; dan
c. perekat dan pemersatu bangsa.
Bagian Kedua
Tugas
Pasal 11
Pegawai ASN bertugas:
a. melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh
Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. memberikan. . .
- 11 -
b. menawarkan pelayanan publik yang profesional dan
berkualitas; dan
c. mempererat persatuan dan kesatuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Bagian Ketiga
Peran
Pasal 12
Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana,
dan pengawas penyelenggaraan kiprah umum
pemerintahan dan pembangunan nasional melalui
pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang
profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih
dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
BAB V
JABATAN ASN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
Jabatan ASN terdiri atas:
a. Jabatan Administrasi;
b. Jabatan Fungsional; dan
c. Jabatan Pimpinan Tinggi.
Bagian. . .
- 12 -
Bagian Kedua
Jabatan Administrasi
Pasal 14
Jabatan Administrasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 karakter a terdiri atas:
a. jabatan administrator;
b. jabatan pengawas; dan
c. jabatan pelaksana.
Pasal 15
(1) Pejabat dalam jabatan direktur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 karakter a bertanggung
jawab memimpin pelaksanaan seluruh kegiatan
pelayanan publik serta manajemen pemerintahan
dan pembangunan.
(2) Pejabat dalam jabatan pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 karakter b bertanggung
jawab mengendalikan pelaksanaan kegiatan yang
dilakukan oleh pejabat pelaksana.
(3) Pejabat dalam jabatan pelaksana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 karakter c bertanggung
jawab melaksanakan kegiatan pelayanan publik
serta manajemen pemerintahan dan pembangunan.
Pasal 16
Setiap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ditetapkan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.
Pasal 17. . .
- 13 -
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan Administrasi
dan kompetensi yang dibutuhkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Jabatan Fungsional
Pasal 18
(1) Jabatan Fungsional dalam ASN terdiri atas jabatan
fungsional keahlian dan jabatan fungsional
keterampilan.
(2) Jabatan fungsional keahlian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas:
a. andal utama;
b. andal madya;
c. andal muda; dan
d. andal pertama.
(3) Jabatan fungsional keterampilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. penyelia;
b. mahir;
c. terampil; dan
d. pemula.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan Fungsional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian. . .
- 14 -
Bagian Keempat
Jabatan Pimpinan Tinggi
Pasal 19
(1) Jabatan Pimpinan Tinggi terdiri atas:
a. jabatan pimpinan tinggi utama;
b. jabatan pimpinan tinggi madya; dan
c. jabatan pimpinan tinggi pratama.
(2) Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berfungsi memimpin dan memotivasi
setiap Pegawai ASN pada Instansi Pemerintah
melalui:
a. kepeloporan dalam bidang:
1. keahlian profesional;
2. analisis dan rekomendasi kebijakan; dan
3. kepemimpinan manajemen.
b. pengembangan kolaborasi dengan instansi lain;
dan
c. keteladanan dalam mengamalkan nilai dasar
ASN dan melaksanakan arahan etik dan kode
sikap ASN.
(3) Untuk setiap Jabatan Pimpinan Tinggi ditetapkan
syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan,
pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan dan
integritas, serta persyaratan lain yang dibutuhkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan syarat
kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan
dan pelatihan, rekam jejak jabatan dan integritas,
serta persyaratan lain yang dibutuhkan Jabatan
Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20. . .
- 15 -
Pasal 20
(1) Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN.
(2) Jabatan ASN tertentu sanggup diisi dari:
a. prajurit Tentara Nasional Indonesia; dan
b. anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari
prajurit TNI dan anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada Instansi
Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ihwal TNI dan Undang-
Undang ihwal Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan ASN
tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional
Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan tata cara pengisian jabatan ASN
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak PNS
Pasal 21
PNS berhak memperoleh:
a. gaji, tunjangan, dan fasilitas;
b. cuti;
c. jaminan pensiun dan jaminan hari tua;
d. perlindungan; dan
e. pengembangan kompetensi.
Bagian. . .
- 16 -
Bagian Kedua
Hak PPPK
Pasal 22
PPPK berhak memperoleh:
a. honor dan tunjangan;
b. cuti;
c. perlindungan; dan
d. pengembangan kompetensi.
Bagian Ketiga
Kewajiban Pegawai ASN
Pasal 23
Pegawai ASN wajib:
a. setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
pemerintah yang sah;
b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa;
c. melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat
pemerintah yang berwenang;
d. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. melaksanakan kiprah kedinasan dengan penuh
pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung
jawab;
f. memperlihatkan integritas dan keteladanan dalam
sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap
orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan;
g. menyimpan diam-diam jabatan dan hanya dapat
mengemukakan diam-diam jabatan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. bersedia. . .
- 17 -
h. bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak PNS, hak PPPK,
dan kewajiban Pegawai ASN sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 25
(1) Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan
merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam
kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen ASN.
(2) Untuk menyelenggarakan kekuasaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Presiden mendelegasikan
sebagian kekuasaannya kepada:
a. Kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pendayagunaan
aparatur negara, berkaitan dengan kewenangan
perumusan dan penetapan kebijakan, koordinasi
dan sinkronisasi kebijakan, serta pengawasan
atas pelaksanaan kebijakan ASN;
b. KASN, berkaitan dengan kewenangan monitoring
dan penilaian pelaksanaan kebijakan dan
Manajemen ASN untuk menjamin perwujudan
Sistem Merit serta pengawasan terhadap
penerapan asas serta arahan etik dan kode
sikap ASN;
c. LAN. . .
- 18 -
c. LAN, berkaitan dengan kewenangan penelitian,
pengkajian kebijakan Manajemen ASN,
pembinaan, dan penyelenggaraan pendidikan
dan training ASN; dan
d. BKN, berkaitan dengan kewenangan
penyelenggaraan Manajemen ASN, pengawasan
dan pengendalian pelaksanaan norma, standar,
prosedur, dan kriteria Manajemen ASN.
Pasal 26
(1) Menteri berwenang memutuskan kebijakan di bidang
pendayagunaan Pegawai ASN.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. kebijakan reformasi birokrasi di bidang sumber
daya manusia;
b. kebijakan umum pembinaan profesi ASN;
c. kebijakan umum Manajemen ASN, klasifikasi
jabatan ASN, standar kompetensi jabatan
Pegawai ASN, kebutuhan Pegawai ASN secara
nasional, skala penggajian, tunjangan Pegawai
ASN, dan sistem pensiun PNS.
d. pemindahan PNS antarjabatan, antardaerah, dan
antarinstansi;
e. pertimbangan kepada Presiden dalam
penindakan terhadap Pejabat yang Berwenang
dan Pejabat Pembina Kepegawaian atas
penyimpangan Sistem Merit dalam
penyelenggaraan Manajemen ASN; dan
f. penyusunan kebijakan planning kerja KASN, LAN,
dan BKN di bidang Manajemen ASN.
Bagian. . .
- 19 -
Bagian Kedua
KASN
Paragraf 1
Sifat
Pasal 27
KASN merupakan forum nonstruktural yang mandiri
dan bebas dari intervensi politik untuk menciptakan
Pegawai ASN yang profesional dan berkinerja,
menawarkan pelayanan secara adil dan netral, serta
menjadi perekat dan pemersatu bangsa.
Paragraf 2
Tujuan
Pasal 28
KASN bertujuan:
a. menjamin terwujudnya Sistem Merit dalam
kebijakan dan Manajemen ASN;
b. mewujudkan ASN yang profesional, berkinerja tinggi,
sejahtera, dan berfungsi sebagai perekat Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
c. mendukung penyelenggaraan pemerintahan negara
yang efektif, efisien dan terbuka, serta bebas dari
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme;
d. mewujudkan Pegawai ASN yang netral dan tidak
membedakan masyarakat yang dilayani berdasarkan
suku, agama, ras, dan golongan;
e. menjamin terbentuknya profesi ASN yang dihormati
pegawainya dan masyarakat; dan
f. mewujudkan ASN yang dinamis dan berbudaya
pencapaian kinerja.
Paragraf 3. . .
- 20 -
Paragraf 3
Kedudukan
Pasal 29
KASN berkedudukan di ibu kota negara.
Paragraf 4
Fungsi
Pasal 30
KASN berfungsi mengawasi pelaksanaan norma dasar,
arahan etik dan arahan sikap ASN, serta penerapan
Sistem Merit dalam kebijakan dan Manajemen ASN pada
Instansi Pemerintah.
Paragraf 5
Tugas
Pasal 31
(1) KASN bertugas:
a. menjaga netralitas Pegawai ASN;
b. melaksanakan pengawasan atas pembinaan profesi
ASN; dan
c. melaporkan pengawasan dan evaluasi
pelaksanaan kebijakan Manajemen ASN kepada
Presiden.
(2) Dalam melaksanakan kiprah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) KASN dapat:
a. melaksanakan penelusuran data dan informasi
terhadap pelaksanaan Sistem Merit dalam
kebijakan dan Manajemen ASN pada Instansi
Pemerintah;
b. melakukan. . .
- 21 -
b. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
fungsi Pegawai ASN sebagai pemersatu bangsa;
c. mendapatkan laporan terhadap pelanggaran norma
dasar serta arahan etik dan arahan sikap Pegawai
ASN;
d. melaksanakan penelusuran data dan informasi atas
prakarsa sendiri terhadap dugaan pelanggaran
norma dasar serta arahan etik dan arahan perilaku
Pegawai ASN; dan
e. melaksanakan upaya pencegahan pelanggaran
norma dasar serta arahan etik dan arahan perilaku
Pegawai ASN.
Paragraf 6
Wewenang
Pasal 32
(1) KASN berwenang:
a. mengawasi setiap tahapan proses pengisian
Jabatan Pimpinan Tinggi mulai dari
pembentukan panitia seleksi instansi,
pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi,
pengusulan nama calon, penetapan, dan
peresmian Pejabat Pimpinan Tinggi;
b. mengawasi dan mengevaluasi penerapan asas,
nilai dasar serta arahan etik dan arahan perilaku
Pegawai ASN;
c. meminta informasi dari pegawai ASN dan
masyarakat mengenai laporan pelanggaran
norma dasar serta arahan etik dan arahan perilaku
Pegawai ASN;
d. menyidik dokumen terkait pelanggaran norma
dasar serta arahan etik dan arahan sikap Pegawai
ASN; dan
e. meminta. . .
- 22 -
e. meminta penjelasan dan/atau dokumen yang
dibutuhkan dari Instansi Pemerintah untuk
investigasi laporan atas pelanggaran norma
dasar serta arahan etik dan arahan sikap Pegawai
ASN.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) karakter b, KASN berwenang
untuk memutuskan adanya pelanggaran arahan etik
dan arahan sikap Pegawai ASN.
(3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) karakter a dan karakter b disampaikan kepada Pejabat
Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang
untuk wajib ditindaklanjuti.
Pasal 33
(1) Berdasarkan hasil pengawasan yang tidak
ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (3), KASN merekomendasikan kepada
Presiden untuk menjatuhkan hukuman terhadap
Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang
Berwenang yang melanggar prinsip Sistem Merit dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan;
b. teguran;
c. perbaikan, pencabutan, pembatalan, penerbitan
keputusan, dan/atau pengembalian
pembayaran;
d. hukuman disiplin untuk Pejabat yang Berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
dan
e. hukuman untuk Pejabat Pembina Kepegawaian,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Sanksi. . .
- 23 -
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh:
a. Presiden selaku pemegang kekuasan tertinggi
pembinaan ASN, terhadap keputusan yang
ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian;
dan
b. Menteri terhadap keputusan yang ditetapkan
oleh Pejabat yang Berwenang, dan terhadap
Pejabat Pembina Kepegawaian di tingkat provinsi
dan kabupaten/kota.
Pasal 34
KASN melaporkan pelaksanaan fungsi, tugas, dan
wewenangnya, termasuk yang berkaitan dengan
kebijakan dan kinerja ASN paling kurang 1 (satu) kali
pada selesai tahun kepada Presiden.
Paragraf 7
Susunan
Pasal 35
(1) KASN terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota;
b. 1 (satu) orang wakil ketua merangkap anggota,
dan
c. 5 (lima) orang anggota.
(2) Dalam hal ketua KASN berhalangan, wakil ketua
KASN menjalankan kiprah dan wewenang ketua
KASN.
Pasal 36. . .
- 24 -
Pasal 36
(1) KASN dalam melaksanakan kiprah dan wewenangnya
dibantu oleh ajudan dan Pejabat Fungsional
keahlian yang dibutuhkan.
(2) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh ketua KASN
berdasarkan persetujuan rapat anggota KASN.
(3) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sanggup berasal dari PNS maupun non-PNS yang
mempunyai kualifikasi akademik paling rendah strata
dua (S2) di bidang manajemen negara, manajemen
publik, manajemen sumber daya manusia, psikologi,
kebijakan publik, ilmu hukum, ilmu pemerintahan,
dan/atau strata dua (S2) di bidang lain yang
berkaitan dengan manajemen sumber daya manusia.
(4) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak sedang menjadi anggota dan/atau pengurus
partai politik, tidak merangkap jabatan, serta
diseleksi secara terbuka dan kompetitif dengan
memperhatikan rekam jejak, kompetensi, netralitas,
dan integritas moral.
(5) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai dan melaksanakan nilai dasar, arahan etik
dan arahan sikap serta diawasi oleh anggota KASN.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, tata cara
pengangkatan dan pemberhentian, arahan etik dan
arahan perilaku, dan pengawasan terhadap kiprah dan
tanggung jawab ajudan KASN diatur dengan
Peraturan KASN.
Pasal 37
(1) KASN dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh
seorang kepala sekretariat.
(2) Kepala. . .
- 25 -
(2) Kepala sekretariat berasal dari PNS.
(3) Kepala sekretariat diangkat dan diberhentikan oleh
ketua KASN.
(4) KASN didanai oleh anggaran pendapatan dan
belanja negara.
Paragraf 8
Keanggotaan
Pasal 38
(1) Anggota KASN terdiri dari unsur pemerintah
dan/atau nonpemerintah.
(2) Anggota KASN harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun
pada dikala mendaftarkan diri sebagai calon
anggota KASN;
d. tidak sedang menjadi anggota partai politik
dan/atau tidak sedang menduduki jabatan
politik;
e. bisa secara jasmani dan rohani untuk
melaksanakan tugas;
f. mempunyai kemampuan, pengalaman, dan/atau
pengetahuan di bidang manajemen sumber daya
manusia;
g. berpendidikan paling rendah strata dua (S2) di
bidang manajemen negara, manajemen sumber
daya manusia, kebijakan publik, ilmu hukum,
ilmu pemerintahan, dan/atau strata dua (S2) di
bidang lain yang mempunyai pengalaman di bidang
manajemen sumber daya manusia;
h. tidak. . .
- 26 -
h. tidak merangkap jabatan pemerintahan
dan/atau tubuh aturan lainnya; dan
i. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan aturan tetap.
(3) Anggota KASN yang berasal dari PNS diberhentikan
sementara dari jabatan ASN.
(4) Anggota KASN yang berasal dari PPPK diberhentikan
statusnya dari PPPK.
(5) Anggota KASN yang berasal dari non-pegawai ASN
harus mengundurkan diri sementara dari jabatan
dan profesinya.
Paragraf 9
Seleksi Anggota KASN
Pasal 39
(1) Anggota KASN diseleksi dan diusulkan oleh tim
seleksi yang beranggotakan 5 (lima) orang yang
dibuat oleh Menteri.
(2) Tim seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipimpin oleh Menteri dan melaksanakan kiprah selama
3 (tiga) bulan semenjak pengangkatan.
(3) Anggota tim seleksi harus mempunyai pengetahuan dan
pengalaman di bidang ASN, rekam jejak yang baik,
integritas moral, dan netralitas.
(4) Tim seleksi melaksanakan proses seleksi anggota KASN
dengan mengumumkan secara terbuka lowongan
tersebut kepada masyarakat secara luas, melakukan
penilaian pengetahuan, kompetensi, integritas
moral, rekam jejak calon, dan uji publik.
(5) Tim seleksi memberikan 2 (dua) kali jumlah
anggota KASN untuk dipilih dan ditetapkan oleh
Presiden.
(6) Ketentuan. . .
- 27 -
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi dan tata
cara pembentukan tim seleksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 10
Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 40
(1) Presiden memutuskan ketua, wakil ketua, dan
anggota KASN dari anggota KASN terpilih yang
diusulkan oleh tim seleksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 ayat (5).
(2) Ketua, wakil ketua, dan anggota KASN ditetapkan
dan diangkat oleh Presiden selaku pemegang
kekuasaan tertinggi dalam pelaksanaan kebijakan,
pembinaan profesi, dan Manajemen ASN, untuk
masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya
sanggup diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa
jabatan.
(3) Anggota KASN berhenti atau diberhentikan oleh
Presiden pada masa jabatannya, apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. tidak bisa jasmani atau rohani sehingga tidak
sanggup menjalankan kewajiban sebagai anggota
KASN;
d. dieksekusi penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap lantaran melaksanakan tindak pidana kejahatan
jabatan atau tindak pidana umum; atau
e. menjadi anggota partai politik dan/atau
menduduki jabatan negara.
Pasal 41. . .
- 28 -
Pasal 41
(1) Anggota KASN yang berhenti pada masa jabatannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3)
digantikan oleh calon anggota yang diusulkan oleh
tim seleksi.
(2) Dalam hal Presiden tidak menyetujui atau yang
bersangkutan tidak bersedia, Menteri membentuk
tim seleksi untuk menyeleksi calon anggota
pengganti.
(3) Presiden mengesahkan anggota pengganti yang
diusulkan tim seleksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2).
(4) Masa kiprah anggota pengganti sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) meneruskan sisa masa kerja
anggota yang berhenti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(5) KASN mempunyai dan melaksanakan arahan etik dan
arahan perilaku.
(6) Dalam hal terjadi pelangggaran arahan etik dan kode
sikap sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
Presiden membentuk majelis kehormatan arahan etik
dan arahan perilaku.
(7) Majelis kehormatan arahan etik dan arahan perilaku
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terdiri atas
5 (lima) orang yang berasal dari luar KASN dan
mempunyai pengetahuan, pengalaman, dan kompetensi
di bidang ASN, rekam jejak yang baik, integritas
moral, dan netralitas, serta berusia paling rendah 55
(lima puluh lima) tahun.
Pasal 42. . .
- 29 -
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan
organisasi, fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung
jawab sekretariat, tata kerja, sistem dan manajemen
sumber daya manusia, serta tanggung jawab dan
pengelolaan keuangan KASN sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 hingga dengan Pasal 41 diatur dengan
Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
LAN
Paragraf 1
Fungsi dan Tugas
Pasal 43
LAN mempunyai fungsi:
a. pengembangan standar kualitas pendidikan dan
training Pegawai ASN;
b. pembinaan pendidikan dan training kompetensi
manajerial Pegawai ASN;
c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
kompetensi manajerial Pegawai ASN baik secara
sendiri maupun bantu-membantu forum pendidikan
dan training lainnya;
d. pengkajian terkait dengan kebijakan dan Manajemen
ASN; dan
e. melaksanakan pengukuhan forum pendidikan dan
training Pegawai ASN, baik sendiri maupun
bersama forum pemerintah lainnya.
Pasal 44. . .
- 30 -
Pasal 44
LAN bertugas:
a. meneliti, mengkaji, dan melaksanakan inovasi
Manajemen ASN sesuai dengan kebutuhan
kebijakan;
b. membina dan menyelenggarakan pendidikan dan
training Pegawai ASN berbasis kompetensi;
c. merencanakan dan mengawasi kebutuhan
pendidikan dan training Pegawai ASN secara
nasional;
d. menyusun standar dan aliran penyelenggaraan
dan pelaksanaan pendidikan, training teknis
fungsional dan penjenjangan tertentu, serta
pemberian pengukuhan dan sertifikasi di bidangnya
dengan melibatkan kementerian dan lembaga
terkait;
e. menawarkan sertifikasi kelulusan penerima pendidikan
dan training penjenjangan;
f. membina dan menyelenggarakan pendidikan dan
training analis kebijakan publik; dan
g. membina Jabatan Fungsional di bidang pendidikan
dan pelatihan.
Paragraf 2
Kewenangan
Pasal 45
LAN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 berwenang:
a. mencabut izin penyelenggaraan pendidikan dan
latihan Pegawai ASN yang melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. menawarkan rekomendasi kepada Menteri dalam
bidang kebijakan dan Manajemen ASN; dan
c. mencabut. . .
- 31 -
c. mencabut pengukuhan forum pendidikan dan
training Pegawai ASN yang tidak memenuhi
standar akreditasi.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, tugas, dan
kewenangan LAN sebagaimana dimaksud dalam Pasal
43, Pasal 44, dan Pasal 45 diatur dengan Peraturan
Presiden.
Bagian Keempat
BKN
Paragraf 1
Fungsi dan Tugas
PasaI 47
BKN mempunyai fungsi:
a. pembinaan penyelenggaraan Manajemen ASN;
b. penyelenggaraan Manajemen ASN dalam bidang
pertimbangan teknis formasi, pengadaan,
perpindahan antarinstansi, persetujuan kenaikan
pangkat, pensiun; dan
c. penyimpanan informasi Pegawai ASN yang telah
dimutakhirkan oleh Instansi Pemerintah serta
bertanggung jawab atas pengelolaan dan
pengembangan Sistem Informasi ASN.
Pasal 48
BKN bertugas:
a. mengendalikan seleksi calon Pegawai ASN;
b. membina. . .
- 32 -
b. membina dan menyelenggarakan penilaian
kompetensi serta mengevaluasi pelaksanaan
penilaian kinerja Pegawai ASN oleh Instansi
Pemerintah;
c. membina Jabatan Fungsional di bidang
kepegawaian;
d. mengelola dan berbagi sistem informasi
kepegawaian ASN berbasis kompetensi didukung
oleh sistem informasi kearsipan yang komprehensif;
e. menyusun norma, standar, dan mekanisme teknis
pelaksanaan kebijakan Manajemen ASN;
f. menyelenggarakan manajemen kepegawaian ASN;
dan
g. mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan norma,
standar, dan mekanisme manajemen kepegawaian
ASN.
Paragraf 2
Kewenangan
Pasal 49
BKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 berwenang
mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan norma,
standar, prosedur, dan kriteria Manajemen ASN.
Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, tugas, dan
kewenangan BKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47, Pasal 48, dan Pasal 49 diatur dengan Peraturan
Presiden.
BAB VIII. . .
- 33 -
BAB VIII
MANAJEMEN ASN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 51
Manajemen ASN diselenggarakan berdasarkan Sistem
Merit.
Pasal 52
Manajemen ASN meliputi Manajemen PNS dan
Manajemen PPPK.
Bagian Kedua
Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang
Paragraf 1
Pejabat Pembina Kepegawaian
Pasal 53
Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi
pembinaan ASN sanggup mendelegasikan kewenangan
memutuskan pengangkatan, pemindahan, dan
pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi
utama dan madya, dan pejabat fungsional keahlian
utama kepada:
a. menteri di kementerian;
b. pimpinan forum di forum pemerintah
nonkementerian;
c. sekretaris jenderal di sekretariat forum negara dan
forum nonstruktural;
d. gubernur di provinsi; dan
e. bupati/walikota di kabupaten/kota.
Paragraf 2. . .
- 34 -
Paragraf 2
Pejabat yang Berwenang
Pasal 54
(1) Presiden sanggup mendelegasikan kewenangan
pembinaan Manajemen ASN kepada Pejabat yang
Berwenang di kementerian, sekretaris
jenderal/sekretariat forum negara, sekretariat
forum nonstruktural, sekretaris kawasan provinsi
dan kabupaten/kota.
(2) Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam menjalankan fungsi Manajemen
ASN di Instansi Pemerintah berdasarkan Sistem
Merit dan berkonsultasi dengan Pejabat Pembina
Kepegawaian di instansi masing-masing.
(3) Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), menawarkan rekomendasi usulan
kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi
masing-masing.
(4) Pejabat yang Berwenang mengusulkan
pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian
Pejabat Administrasi dan Pejabat Fungsional kepada
Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masingmasing.
Bagian Ketiga
Manajemen PNS
Pasal 55
(1) Manajemen PNS meliputi:
a. penyusunan dan penetapan kebutuhan;
b. pengadaan;
c. pangkat dan jabatan;
d. pengembangan. . .
- 35 -
d. pengembangan karier;
e. referensi karier;
f. promosi;
g. mutasi;
h. penilaian kinerja;
i. penggajian dan tunjangan;
j. penghargaan;
k. disiplin;
l. pemberhentian;
m. jaminan pensiun dan jaminan hari tua; dan
n. perlindungan.
(2) Manajemen PNS pada Instansi Pusat dilaksanakan
oleh pemerintah sentra sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Manajemen PNS pada Instansi Daerah dilaksanakan
oleh pemerintah kawasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Paragraf 1
Penyusunan dan Penetapan Kebutuhan
Pasal 56
(1) Setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun
kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS
berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban
kerja.
(2) Penyusunan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan
PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci
per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan.
(3) Berdasarkan. . .
- 36 -
(3) Berdasarkan penyusunan kebutuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan
kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS secara
nasional.
Pasal 57
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan
dan penetapan kebutuhan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2
Pengadaan
Pasal 58
(1) Pengadaan PNS merupakan kegiatan untuk mengisi
kebutuhan Jabatan Administrasi dan/atau Jabatan
Fungsional dalam suatu Instansi Pemerintah.
(2) Pengadaan PNS di Instansi Pemerintah dilakukan
berdasarkan penetapan kebutuhan yang ditetapkan
oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
ayat (3).
(3) Pengadaan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui tahapan perencanaan,
pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi,
pengumuman hasil seleksi, masa percobaan, dan
pengangkatan menjadi PNS.
Pasal 59
Setiap Instansi Pemerintah merencanakan pelaksanaan
pengadaan PNS.
Pasal 60. . .
- 37 -
Pasal 60
Setiap Instansi Pemerintah mengumumkan secara
terbuka kepada masyarakat adanya kebutuhan jabatan
untuk diisi dari calon PNS.
Pasal 61
Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan
yang sama untuk melamar menjadi PNS setelah
memenuhi persyaratan.
Pasal 62
(1) Penyelenggaraan seleksi pengadaan PNS oleh
Instansi Pemerintah melalui penilaian secara objektif
berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan
persyaratan lain yang dibutuhkan oleh jabatan.
(2) Penyelenggaraan seleksi pengadaan PNS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari
3 (tiga) tahap, meliputi seleksi administrasi, seleksi
kompetensi dasar, dan seleksi kompetensi bidang.
Pasal 63
(1) Peserta yang lolos seleksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62 diangkat menjadi calon PNS.
(2) Pengangkatan calon PNS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Pejabat
Pembina Kepegawaian.
(3) Calon PNS wajib menjalani masa percobaan.
(4) Masa. . .
- 38 -
(4) Masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilaksanakan melalui proses pendidikan dan
training terintegrasi untuk membangun integritas
moral, kejujuran, semangat dan motivasi
nasionalisme dan kebangsaan, karakter kepribadian
yang unggul dan bertanggung jawab, dan
memperkuat profesionalisme serta kompetensi
bidang.
Pasal 64
(1) Masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (3) bagi calon PNS dilaksanakan
selama 1 (satu) tahun.
(2) Instansi Pemerintah wajib menawarkan pendidikan
dan training kepada calon PNS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) selama masa percobaan.
Pasal 65
(1) Calon PNS yang diangkat menjadi PNS harus
memenuhi persyaratan:
a. lulus pendidikan dan pelatihan; dan
b. sehat jasmani dan rohani.
(2) Calon PNS yang telah memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
menjadi PNS oleh Pejabat Pembina Kepegawaian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Calon PNS yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan
sebagai calon PNS.
Pasal 66. . .
- 39 -
Pasal 66
(1) Setiap calon PNS pada dikala diangkat menjadi PNS
wajib mengucapkan sumpah/janji.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berbunyi sebagai berikut:
"Demi Allah/Atas Nama Tuhan Yang Maha Esa, saya
bersumpah/berjanji:
bahwa saya, untuk diangkat menjadi pegawai negeri
sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, negara, dan pemerintah;
bahwa saya, akan mentaati segala peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan kiprah kedinasan yang dipercayakan
kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran,
dan tanggung jawab;
bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi
kehormatan negara, pemerintah, dan martabat
pegawai negeri sipil, serta akan senantiasa
mengutamakan kepentingan negara daripada
kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;
bahwa saya, akan memegang diam-diam sesuatu yang
berdasarkan sifatnya atau berdasarkan perintah harus saya
rahasiakan;
bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib,
cermat, dan bersemangat untuk kepentingan
negara".
Pasal 67
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan PNS dan
tata cara sumpah/janji PNS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58 hingga dengan Pasal 66 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3. . .
- 40 -
Paragraf 3
Pangkat dan Jabatan
Pasal 68
(1) PNS diangkat dalam pangkat dan jabatan tertentu
pada Instansi Pemerintah.
(2) Pengangkatan PNS dalam jabatan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
berdasarkan perbandingan objektif antara
kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang
dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi,
kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh
pegawai.
(3) Setiap jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikelompokkan dalam pembagian terstruktur mengenai jabatan
PNS yang memperlihatkan kesamaan karakteristik,
mekanisme, dan referensi kerja.
(4) PNS sanggup berpindah antar dan antara Jabatan
Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, dan Jabatan
Fungsional di Instansi Pusat dan Instansi Daerah
berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan penilaian
kinerja.
(5) PNS sanggup diangkat dalam jabatan tertentu pada
lingkungan instansi TNI dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(6) PNS yang diangkat dalam jabatan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pangkat atau
jabatan diubahsuaikan dengan pangkat dan jabatan di
lingkungan instansi TNI dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pangkat, tata cara
pengangkatan PNS dalam jabatan, kompetensi
jabatan, pembagian terstruktur mengenai jabatan, dan tata cara
perpindahan antar Jabatan Administrasi dan
Jabatan Fungsional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat
(6) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 4. . .
- 41 -
Paragraf 4
Pengembangan Karier
Pasal 69
(1) Pengembangan karier PNS dilakukan berdasarkan
kualifikasi, kompetensi, penilaian kinerja, dan
kebutuhan Instansi Pemerintah.
(2) Pengembangan karier PNS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan
integritas dan moralitas.
(3) Kompetensi sebagaimana dimaksud ayat (1)
meliputi:
a. kompetensi teknis yang diukur dari tingkat dan
spesialisasi pendidikan, training teknis
fungsional, dan pengalaman bekerja secara
teknis;
b. kompetensi manajerial yang diukur dari tingkat
pendidikan, training struktural atau
manajemen, dan pengalaman kepemimpinan;
dan
c. kompetensi sosial kultural yang diukur dari
pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat
beragam dalam hal agama, suku, dan budaya
sehingga mempunyai wawasan kebangsaan.
(4) Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diukur dari kejujuran, kepatuhan terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan,
kemampuan bekerja sama, dan dedikasi kepada
masyarakat, bangsa dan negara.
(5) Moralitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diukur dari penerapan dan pengamalan nilai etika
agama, budaya, dan sosial kemasyarakatan.
Pasal 70. . .
- 42 -
Pasal 70
(1) Setiap Pegawai ASN mempunyai hak dan kesempatan
untuk berbagi kompetensi.
(2) Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) antara lain melalui pendidikan dan
pelatihan, seminar, kursus, dan penataran.
(3) Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dievaluasi oleh Pejabat yang
Berwenang dan dipakai sebagai salah satu dasar
dalam pengangkatan jabatan dan pengembangan
karier.
(4) Dalam berbagi kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setiap Instansi Pemerintah
wajib menyusun planning pengembangan kompetensi
tahunan yang tertuang dalam planning kerja
anggaran tahunan instansi masing-masing.
(5) Dalam berbagi kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) PNS diberikan kesempatan
untuk melaksanakan praktik kerja di instansi lain di
sentra dan kawasan dalam waktu paling usang 1 (satu)
tahun dan pelaksanaannya dikoordinasikan oleh
LAN dan BKN.
(6) Selain pengembangan kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pengembangan kompetensi
sanggup dilakukan melalui pertukaran antara PNS
dengan pegawai swasta dalam waktu paling usang 1
(satu) tahun dan pelaksanaannya dikoordinasikan
oleh LAN dan BKN.
Paragraf 5. . .
- 43 -
Paragraf 5
Pola Karier
Pasal 71
(1) Untuk menjamin keselarasan potensi PNS dengan
kebutuhan penyelenggaraan kiprah pemerintahan
dan pembangunan perlu disusun referensi karier PNS
yang terintegrasi secara nasional.
(2) Setiap Instansi Pemerintah menyusun referensi karier
PNS secara khusus sesuai dengan kebutuhan
berdasarkan referensi karier nasional.
Paragraf 6
Promosi
Pasal 72
(1) Promosi PNS dilakukan berdasarkan perbandingan
objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan
persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan, penilaian
atas prestasi kerja, kepemimpinan, kerja sama,
kreativitas, dan pertimbangan dari tim penilai
kinerja PNS pada Instansi Pemerintah, tanpa
membedakan jender, suku, agama, ras, dan
golongan.
(2) Setiap PNS yang memenuhi syarat mempunyai hak
yang sama untuk dipromosikan ke jenjang jabatan
yang lebih tinggi.
(3) Promosi Pejabat Administrasi dan Pejabat
Fungsional PNS dilakukan oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian sehabis menerima pertimbangan tim
penilai kinerja PNS pada Instansi Pemerintah.
(4) Tim penilai kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dibuat oleh Pejabat yang Berwenang.
Paragraf 7. . .
- 44 -
Paragraf 7
Mutasi
Pasal 73
(1) Setiap PNS sanggup dimutasi kiprah dan/atau lokasi
dalam 1 (satu) Instansi Pusat, antar-Instansi Pusat,
1 (satu) Instansi Daerah, antar-Instansi Daerah,
antar-Instansi Pusat dan Instansi Daerah, dan ke
perwakilan Negara Kesatuan Republik Indonesia di
luar negeri.
(2) Mutasi PNS dalam satu Instansi Pusat atau Instansi
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian.
(3) Mutasi PNS antarkabupaten/kota dalam satu
provinsi ditetapkan oleh gubernur setelah
memperoleh pertimbangan kepala BKN.
(4) Mutasi PNS antarkabupaten/kota antarprovinsi, dan
antar provinsi ditetapkan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam
negeri sehabis memperoleh pertimbangan kepala
BKN.
(5) Mutasi PNS provinsi/kabupaten/kota ke Instansi
Pusat atau sebaliknya, ditetapkan oleh kepala BKN.
(6) Mutasi PNS antar-Instansi Pusat ditetapkan oleh
kepala BKN.
(7) Mutasi PNS dilakukan dengan memperhatikan
prinsip larangan konflik kepentingan.
(8) Pembiayaan sebagai dampak dilakukannya mutasi
PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja
negara untuk Instansi Pusat dan anggaran
pendapatan dan belanja kawasan untuk Instansi
Daerah.
Pasal 74. . .
- 45 -
Pasal 74
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan karier,
pengembangan kompetensi, referensi karier, promosi, dan
mutasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 sampai
dengan Pasal 73 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 8
Penilaian Kinerja
Pasal 75
Penilaian kinerja PNS bertujuan untuk menjamin
objektivitas pembinaan PNS yang didasarkan sistem
prestasi dan sistem karier.
Pasal 76
(1) Penilaian kinerja PNS dilakukan berdasarkan
perencanaan kinerja pada tingkat individu dan
tingkat unit atau organisasi, dengan memperhatikan
target, capaian, hasil, dan manfaat yang dicapai,
serta sikap PNS.
(2) Penilaian kinerja PNS dilakukan secara objektif,
terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan.
Pasal 77
(1) Penilaian kinerja PNS berada di bawah kewenangan
Pejabat yang Berwenang pada Instansi Pemerintah
masing-masing.
(2) Penilaian kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didelegasikan secara berjenjang kepada
atasan pribadi dari PNS.
(3) Penilaian. . .
- 46 -
(3) Penilaian kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sanggup mempertimbangkan pendapat rekan
kerja setingkat dan bawahannya.
(4) Hasil penilaian kinerja PNS disampaikan kepada tim
penilai kinerja PNS.
(5) Hasil penilaian kinerja PNS dipakai untuk
menjamin objektivitas dalam pengembangan PNS,
dan dijadikan sebagai persyaratan dalam
pengangkatan jabatan dan kenaikan pangkat,
pemberian tunjangan dan sanksi, mutasi, dan
promosi, serta untuk mengikuti pendidikan dan
pelatihan.
(6) PNS yang penilaian kinerjanya tidak mencapai target
kinerja dikenakan hukuman manajemen sampai
dengan pemberhentian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 78
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kinerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dan Pasal 77
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 9
Penggajian dan Tunjangan
Pasal 79
(1) Pemerintah wajib membayar honor yang adil dan layak
kepada PNS serta menjamin kesejahteraan PNS.
(2) Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibayarkan sesuai dengan beban kerja,
tanggungjawab, dan resiko pekerjaan.
(3) Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.
(4) Gaji. . .
- 47 -
(4) Gaji PNS yang bekerja pada pemerintah pusat
dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja
negara.
(5) Gaji PNS yang bekerja pada pemerintahan daerah
dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja
daerah.
Pasal 80
(1) Selain honor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79,
PNS juga mendapatkan tunjangan dan fasilitas.
(2) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi tunjangan kinerja dan tunjangan
kemahalan.
(3) Tunjangan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dibayarkan sesuai pencapaian kinerja.
(4) Tunjangan kemahalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dibayarkan sesuai dengan tingkat
kemahalan berdasarkan indeks harga yang berlaku
di kawasan masing-masing.
(5) Tunjangan PNS yang bekerja pada pemerintah pusat
dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja
negara.
(6) Tunjangan PNS yang bekerja pada pemerintahan
kawasan dibebankan pada anggaran pendapatan dan
belanja daerah.
Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji, tunjangan kinerja,
tunjangan kemahalan, dan akomodasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 dan Pasal 80 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Paragraf 10. . .
- 48 -
Paragraf 10
Penghargaan
Pasal 82
PNS yang telah memperlihatkan kesetiaan, pengabdian,
kecakapan, kejujuran, kedisiplinan, dan prestasi kerja
dalam melaksanakan tugasnya sanggup diberikan
penghargaan.
Pasal 83
Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82
sanggup berupa pemberian:
a. tanda kehormatan;
b. kenaikan pangkat istimewa;
c. kesempatan prioritas untuk pengembangan
kompetensi; dan/atau
d. kesempatan menghadiri jadwal resmi dan/atau acara
kenegaraan.
Pasal 84
PNS yang dijatuhi hukuman administratif tingkat berat
berupa pemberhentian tidak dengan hormat dicabut
haknya untuk menggunakan tanda kehormatan berdasarkan
Undang-Undang ini.
Pasal 85
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghargaan terhadap
PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 83,
dan Pasal 84 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Paragraf 11. . .
- 49 -
Paragraf 11
Disiplin
Pasal 86
(1) Untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dalam
kelancaran pelaksanaan tugas, PNS wajib mematuhi
disiplin PNS.
(2) Instansi Pemerintah wajib melaksanakan penegakan
disiplin terhadap PNS serta melaksanakan berbagai
upaya peningkatan disiplin.
(3) PNS yang melaksanakan pelanggaran disiplin dijatuhi
hukuman disiplin.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai disiplin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 12
Pemberhentian
Pasal 87
(1) PNS diberhentikan dengan hormat karena:
a. meninggal dunia;
b. atas ajakan sendiri;
c. mencapai batas usia pensiun;
d. perampingan organisasi atau kebijakan
pemerintah yang menjadikan pensiun dini;
atau
e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga
tidak sanggup menjalankan kiprah dan kewajiban.
(2) PNS. . .
- 50 -
(2) PNS sanggup diberhentikan dengan hormat atau tidak
diberhentikan lantaran dieksekusi penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan aturan tetap lantaran melakukan
tindak pidana dengan hukuman pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang
dilakukan tidak berencana.
(3) PNS diberhentikan dengan hormat tidak atas
ajakan sendiri lantaran melaksanakan pelanggaran
disiplin PNS tingkat berat.
(4) PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena:
a. melaksanakan penyelewengan terhadap Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. dieksekusi penjara atau kurungan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan aturan tetap lantaran melaksanakan tindak
pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana
kejahatan yang ada hubungannya dengan
jabatan dan/atau pidana umum;
c. menjadi anggota dan/atau pengurus partai
politik; atau
d. dieksekusi penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap lantaran melaksanakan tindak pidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
pidana yang dilakukan dengan berencana.
Pasal 88
(1) PNS diberhentikan sementara, apabila:
a. diangkat menjadi pejabat negara;
b. diangkat menjadi komisioner atau anggota
forum nonstruktural; atau
c. ditahan lantaran menjadi tersangka tindak pidana.
(2) Pengaktifan. . .
- 51 -
(2) Pengaktifan kembali PNS yang diberhentikan
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian.
Pasal 89
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemberhentian, pemberhentian sementara, dan
pengaktifan kembali PNS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 87 dan Pasal 88 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 90
Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal
87 ayat (1) karakter c yaitu:
a. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat
Administrasi;
b. 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan
Tinggi;
c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
bagi Pejabat Fungsional.
Paragraf 13
Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari Tua
Pasal 91
(1) PNS yang berhenti bekerja berhak atas jaminan
pensiun dan jaminan hari bau tanah PNS sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) PNS diberikan jaminan pensiun apabila:
a. meninggal dunia;
b. atas ajakan sendiri dengan usia dan masa
kerja tertentu;
c. mencapai. . .
- 52 -
c. mencapai batas usia pensiun;
d. perampingan organisasi atau kebijakan
pemerintah yang menjadikan pensiun dini;
atau
e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga
tidak sanggup menjalankan kiprah dan kewajiban.
(3) Jaminan pensiun PNS dan jaminan hari bau tanah PNS
diberikan sebagai proteksi kesinambungan
penghasilan hari tua, sebagai hak dan sebagai
penghargaan atas dedikasi PNS.
(4) Jaminan pensiun dan jaminan hari bau tanah PNS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
jaminan pensiun dan jaminan hari bau tanah yang
diberikan dalam jadwal jaminan sosial nasional.
(5) Sumber pembiayaan jaminan pensiun dan jaminan
hari bau tanah PNS berasal dari pemerintah selaku pemberi
kerja dan iuran PNS yang bersangkutan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan
jadwal jaminan pensiun dan jaminan hari bau tanah PNS
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 14
Perlindungan
Pasal 92
(1) Pemerintah wajib menawarkan proteksi berupa:
a. jaminan kesehatan;
b. jaminan kecelakaan kerja;
c. jaminan kematian; dan
d. dukungan hukum.
(2) Perlindungan. . .
- 53 -
(2) Perlindungan berupa jaminan kesehatan, jaminan
kecelakaan kerja, dan jaminan kematian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karakter a, huruf
b, dan karakter c meliputi jaminan sosial yang
diberikan dalam jadwal jaminan sosial nasional.
(3) Bantuan aturan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) karakter d, berupa pemberian dukungan hukum
dalam kasus yang dihadapi di pengadilan terkait
pelaksanaan tugasnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Manajemen PPPK
Paragraf 1
Umum
Pasal 93
Manajemen PPPK meliputi:
a. penetapan kebutuhan;
b. pengadaan;
c. penilaian kinerja;
d. penggajian dan tunjangan;
e. pengembangan kompetensi;
f. pemberian penghargaan;
g. disiplin;
h. pemutusan kekerabatan perjanjian kerja; dan
i. perlindungan.
Paragraf 2. . .
- 54 -
Paragraf 2
Penetapan Kebutuhan
Pasal 94
(1) Jenis jabatan yang sanggup diisi oleh PPPK diatur
dengan Peraturan Presiden.
(2) Setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun
kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK
berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban
kerja.
(3) Penyusunan kebutuhan jumlah PPPK sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk jangka
waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu)
tahun berdasarkan prioritas kebutuhan.
(4) Kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Paragraf 3
Pengadaan
Pasal 95
Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan
yang sama untuk melamar menjadi calon PPPK setelah
memenuhi persyaratan.
Pasal 96
(1) Pengadaan calon PPPK merupakan kegiatan untuk
memenuhi kebutuhan pada Instansi Pemerintah.
(2) Pengadaan. . .
- 55 -
(2) Pengadaan calon PPPK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui tahapan perencanaan,
pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi,
pengumuman hasil seleksi, dan pengangkatan
menjadi PPPK.
Pasal 97
Penerimaan calon PPPK dilaksanakan oleh Instansi
Pemerintah melalui penilaian secara objektif
berdasarkan kompetensi, kualifikasi, kebutuhan
Instansi Pemerintah, dan persyaratan lain yang
dibutuhkan dalam jabatan.
Pasal 98
(1) Pengangkatan calon PPPK ditetapkan dengan
keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian.
(2) Masa perjanjian kerja paling singkat 1 (satu) tahun
dan sanggup diperpanjang sesuai kebutuhan dan
berdasarkan penilaian kinerja.
Pasal 99
(1) PPPK tidak sanggup diangkat secara otomatis menjadi
calon PNS.
(2) Untuk diangkat menjadi calon PNS, PPPK harus
mengikuti semua proses seleksi yang dilaksanakan
bagi calon PNS dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Paragraf 4. . .
- 56 -
Paragraf 4
Penilaian Kinerja
Pasal 100
(1) Penilaian kinerja PPPK bertujuan menjamin
objektivitas prestasi kerja yang sudah disepakati
berdasarkan perjanjian kerja antara Pejabat
Pembina Kepegawaian dengan pegawai yang
bersangkutan.
(2) Penilaian kinerja PPPK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian kerja di
tingkat individu dan tingkat unit atau organisasi
dengan memperhatikan target, sasaran, hasil,
manfaat yang dicapai, dan sikap pegawai.
(3) Penilaian kinerja PPPK dilakukan secara objektif,
terukur, akuntabel, partisipatif, dan transparan.
(4) Penilaian kinerja PPPK berada di bawah kewenangan
Pejabat yang Berwenang pada Instansi Pemerintah
masing-masing.
(5) Penilaian kinerja PPPK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didelegasikan secara berjenjang kepada
atasan pribadi dari PPPK.
(6) Penilaian kinerja PPPK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sanggup mempertimbangkan pendapat rekan
kerja setingkat dan bawahannya.
(7) Hasil penilaian kinerja PPPK disampaikan kepada
tim penilai kinerja PPPK.
(8) Hasil penilaian kinerja PPPK dimanfaatkan untuk
menjamin objektivitas perpanjangan perjanjian
kerja, pemberian tunjangan, dan pengembangan
kompetensi.
(9) PPPK. . .
- 57 -
(9) PPPK yang dinilai oleh atasan dan tim penilai kinerja
PPPK tidak mencapai sasaran kinerja yang telah
disepakati dalam perjanjian kerja diberhentikan dari
PPPK.
Paragraf 5
Penggajian dan Tunjangan
Pasal 101
(1) Pemerintah wajib membayar honor yang adil dan layak
kepada PPPK.
(2) Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
berdasarkan beban kerja, tanggung jawab jabatan,
dan resiko pekerjaan.
(3) Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja
negara untuk PPPK di Instansi Pusat dan anggaran
pendapatan dan belanja kawasan untuk PPPK di
Instansi Daerah.
(4) Selain honor sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
PPPK sanggup mendapatkan tunjangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 6
Pengembangan Kompetensi
Pasal 102
(1) PPPK diberikan kesempatan untuk pengembangan
kompetensi.
(2) Kesempatan untuk pengembangan kompetensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) direncanakan
setiap tahun oleh Instansi Pemerintah.
(3) Pengembangan. . .
- 58 -
(3) Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dievaluasi oleh Pejabat yang
Berwenang dan dipergunakan sebagai salah satu
dasar untuk perjanjian kerja selanjutnya.
Paragraf 7
Pemberian Penghargaan
Pasal 103
(1) PPPK yang telah memperlihatkan kesetiaan,
pengabdian, kecakapan, kejujuran, kedisiplinan,
dan prestasi kerja dalam melaksanakan tugasnya
sanggup diberikan penghargaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sanggup berupa pemberian:
a. tanda kehormatan;
b. kesempatan prioritas untuk pengembangan
kompetensi; dan/atau
c. kesempatan menghadiri jadwal resmi dan/atau
jadwal kenegaraan.
(3) PPPK yang dijatuhi hukuman administratif tingkat berat
berupa pemutusan kekerabatan perjanjian kerja tidak
dengan hormat dicabut haknya untuk memakai
tanda kehormatan berdasarkan Undang-Undang ini.
Paragraf 8
Disiplin
Pasal 104
(1) Untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dalam
kelancaran pelaksanaan tugas, PPPK wajib
mematuhi disiplin PPPK.
(2) Instansi. . .
- 59 -
(2) Instansi Pemerintah wajib melaksanakan penegakan
disiplin terhadap PPPK serta melaksanakan berbagai
upaya peningkatan disiplin.
(3) PPPK yang melaksanakan pelanggaran disiplin dijatuhi
hukuman disiplin.
Paragraf 9
Pemutusan Hubungan Perjanjian Kerja
Pasal 105
(1) Pemutusan kekerabatan perjanjian kerja PPPK
dilakukan dengan hormat karena:
a. jangka waktu perjanjian kerja berakhir;
b. meninggal dunia;
c. atas ajakan sendiri;
d. perampingan organisasi atau kebijakan
pemerintah yang menjadikan pengurangan
PPPK; atau
e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga
tidak sanggup menjalankan kiprah dan kewajiban
sesuai perjanjian kerja yang disepakati.
(2) Pemutusan kekerabatan perjanjian kerja PPPK
dilakukan dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri karena:
a. dieksekusi penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
aturan tetap lantaran melaksanakan tindak pidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan tindak pidana tersebut dilakukan
dengan tidak berencana;
b. melaksanakan pelanggaran disiplin PPPK tingkat
berat; atau
c. tidak. . .
- 60 -
c. tidak memenuhi sasaran kinerja yang telah
disepakati sesuai dengan perjanjian kerja.
(3) Pemutusan kekerabatan perjanjian kerja PPPK
dilakukan tidak dengan hormat karena:
a. melaksanakan penyelewengan terhadap Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. dieksekusi penjara atau kurungan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan aturan tetap lantaran melaksanakan tindak
pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana
kejahatan yang ada hubungannya dengan
jabatan dan/atau pidana umum;
c. menjadi anggota dan/atau pengurus partai
politik; atau
d. dieksekusi penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap lantaran melaksanakan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling singkat
2 (dua) tahun atau lebih dan tindak pidana
tersebut dilakukan dengan berencana.
Paragraf 10
Perlindungan
Pasal 106
(1) Pemerintah wajib menawarkan proteksi berupa:
a. jaminan hari tua;
b. jaminan kesehatan;
c. jaminan kecelakaan kerja;
d. jaminan kematian; dan
e. dukungan hukum.
(2) Perlindungan. . .
- 61 -
(2) Perlindungan berupa jaminan hari tua, jaminan
kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan
kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
karakter a, karakter b, karakter c, dan karakter d dilaksanakan
sesuai dengan sistem jaminan sosial nasional.
(3) Bantuan aturan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) karakter e, berupa pemberian dukungan hukum
dalam kasus yang dihadapi di pengadilan terkait
pelaksanaan tugasnya.
Pasal 107
Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen PPPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 hingga dengan
Pasal 106 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENGISIAN JABATAN PIMPINAN TINGGI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 108
(1) Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan
madya pada kementerian, kesekretariatan lembaga
negara, forum nonstruktural, dan Instansi Daerah
dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan
PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi,
kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan,
rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan
lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
pada tingkat nasional.
(3) Pengisian. . .
- 62 -
(3) Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama
dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan
PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi,
kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan,
rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan
jabatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama
dilakukan secara terbuka dan kompetitif pada
tingkat nasional atau antarkabupaten/kota dalam 1
(satu) provinsi.
Pasal 109
(1) Jabatan pimpinan tinggi utama dan madya tertentu
sanggup berasal dari kalangan non-PNS dengan
persetujuan Presiden yang pengisiannya dilakukan
secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan
dalam Keputusan Presiden.
(2) Jabatan Pimpinan Tinggi sanggup diisi oleh prajurit
TNI dan anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia sehabis mengundurkan
diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai
dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses
secara terbuka dan kompetitif.
(3) Jabatan Pimpinan Tinggi di lingkungan Instansi
Pemerintah tertentu sanggup diisi oleh prajurit Tentara
Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia sesuai dengan kompetensi
berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 110. . .
- 63 -
Pasal 110
(1) Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 109 dilakukan oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu
membentuk panitia seleksi Instansi Pemerintah.
(2) Dalam membentuk panitia seleksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Pejabat Pembina
Kepegawaian berkoordinasi dengan KASN.
(3) Panitia seleksi Instansi Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur internal
maupun eksternal Instansi Pemerintah yang
bersangkutan.
(4) Panitia seleksi dipilih dan diangkat oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian berdasarkan pengetahuan,
pengalaman, kompetensi, rekam jejak, integritas
moral, dan netralitas melalui proses yang terbuka.
(5) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melaksanakan seleksi dengan memperhatikan syarat
kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan
dan latihan, rekam jejak jabatan, integritas, dan
penilaian uji kompetensi melalui sentra penilaian
(assesment center) atau metode penilaian lainnya.
(6) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjalankan tugasnya untuk semua proses seleksi
pengisian jabatan terbuka untuk masa kiprah yang
ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian.
Pasal 111
(1) Ketentuan mengenai pengisian Jabatan Pimpinan
Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108,
Pasal 109, dan Pasal 110 sanggup dikecualikan pada
Instansi Pemerintah yang telah menerapkan Sistem
Merit dalam pembinaan Pegawai ASN dengan
persetujuan KASN.
(2) Instansi. . .
- 64 -
(2) Instansi Pemerintah yang telah menerapkan Sistem
Merit dalam pembinaan Pegawai ASN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib melaporkan secara
terpola kepada KASN untuk mendapatkan
persetujuan baru.
Bagian Kedua
Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di Instansi Pusat
Pasal 112
(1) Untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi utama
dan/atau madya, panitia seleksi Instansi Pemerintah
menentukan 3 (tiga) nama calon untuk setiap 1 (satu)
lowongan jabatan.
(2) Tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi utama
dan/atau madya yang terpilih sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pejabat
Pembina Kepegawaian.
(3) Pejabat Pembina Kepegawaian mengusulkan 3 (tiga)
nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
kepada Presiden.
(4) Presiden menentukan 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama
calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai
pejabat pimpinan tinggi utama dan/atau madya.
Pasal 113
(1) Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama
dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian
dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi.
(2) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menentukan 3 (tiga) nama calon pejabat pimpinan
tinggi pratama untuk setiap 1 (satu) lowongan
jabatan.
(3) Tiga. . .
- 65 -
(3) Tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama
yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian
melalui Pejabat yang Berwenang.
(4) Pejabat Pembina Kepegawaian menentukan 1 (satu) dari
3 (tiga) nama calon yang diusulkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dengan memperhatikan
pertimbangan Pejabat yang Berwenang untuk
ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi pratama.
Bagian Ketiga
Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di Instansi Daerah
Pasal 114
(1) Pengisian jabatan pimpinan tinggi madya di tingkat
provinsi dilakukan oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk
panitia seleksi.
(2) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memili 3 (tiga) nama calon pejabat pimpinan tinggi
madya untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan.
(3) Tiga calon nama pejabat pimpinan tinggi madya
yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian.
(4) Pejabat Pembina Kepegawaian mengusulkan 3 (tiga)
nama calon pejabat pimpinan tinggi madya
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada
Presiden melalui menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan dalam negeri.
(5) Presiden menentukan 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama
calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai
pejabat pimpinan tinggi madya.
Pasal 115. . .
- 66 -
Pasal 115
(1) Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama
dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian
dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi.
(2) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menentukan 3 (tiga) nama calon pejabat pimpinan
tinggi pratama untuk setiap 1 (satu) lowongan
jabatan.
(3) Tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama
yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian
melalui Pejabat yang Berwenang.
(4) Pejabat Pembina Kepegawaian menentukan 1 (satu) dari
3 (tiga) nama calon sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) untuk ditetapkan dan dilantik sebagai
pejabat pimpinan tinggi pratama.
(5) Khusus untuk pejabat pimpinan tinggi pratama yang
memimpin sekretariat kawasan kabupaten/kota
sebelum ditetapkan oleh bupati/walikota
dikoordinasikan dengan gubernur.
Bagian Keempat
Penggantian Pejabat Pimpinan Tinggi
Pasal 116
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian dihentikan mengganti
Pejabat Pimpinan Tinggi selama 2 (dua) tahun
terhitung semenjak peresmian Pejabat Pimpinan Tinggi,
kecuali Pejabat Pimpinan Tinggi tersebut melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan dan
tidak lagi memenuhi syarat jabatan yang ditentukan.
(2) Penggantian. . .
- 67 -
(2) Penggantian pejabat pimpinan tinggi utama dan
madya sebelum 2 (dua) tahun sanggup dilakukan
sehabis menerima persetujuan Presiden.
Pasal 117
(1) Jabatan Pimpinan Tinggi hanya sanggup diduduki
paling usang 5 (lima) tahun.
(2) Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sanggup diperpanjang berdasarkan
pencapaian kinerja, kesesuaian kompetensi, dan
berdasarkan kebutuhan instansi sehabis mendapat
persetujuan Pejabat Pembina Kepegawaian dan
berkoordinasi dengan KASN.
Pasal 118
(1) Pejabat Pimpinan Tinggi harus memenuhi target
kinerja tertentu sesuai perjanjian kinerja yang sudah
disepakati dengan pejabat atasannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pejabat Pimpinan Tinggi yang tidak memenuhi
kinerja yang diperjanjikan dalam waktu 1 (satu)
tahun pada suatu jabatan, diberikan kesempatan
selama 6 (enam) bulan untuk memperbaiki
kinerjanya.
(3) Dalam hal Pejabat Pimpinan Tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak menunjukan
perbaikan kinerja maka pejabat yang bersangkutan
harus mengikuti seleksi ulang uji kompetensi
kembali.
(4) Berdasarkan hasil uji kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) Pejabat Pimpinan Tinggi
dimaksud sanggup dipindahkan pada jabatan lain
sesuai dengan kompetensi yang dimiliki atau
ditempatkan pada jabatan yang lebih rendah sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian. . .
- 68 -
Bagian Kelima
Pejabat Pimpinan Tinggi yang Mencalonkan
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota,
dan Wakil Bupati/Wakil Walikota
Pasal 119
Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan
tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi
gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan
wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan
pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak
mendaftar sebagai calon.
Bagian Keenam
Pengawasan dalam Proses Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi
Pasal 120
(1) Dalam pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, Pejabat
Pembina Kepegawaian menawarkan laporan proses
pelaksanaannya kepada KASN.
(2) KASN melaksanakan pengawasan pengisian Jabatan
Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) baik berdasarkan laporan yang disampaikan oleh
Pejabat Pembina Kepegawaian maupun atas inisiatif
sendiri.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan proses pengisian
jabatan pimpinan tinggi utama dan jabatan
pimpinan tinggi madya di Instansi Pusat dan jabatan
pimpinan tinggi madya di Instansi Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 dan Pasal
114, KASN berwenang menawarkan rekomendasi
kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dalam hal:
a. pembentukan. . .
- 69 -
a. pembentukan panitia seleksi;
b. pengumuman jabatan yang lowong;
c. pelaksanaan seleksi; dan
d. pengusulan nama calon.
(4) Dalam melaksanakan pengawasan pengisian jabatan
pimpinan tinggi pratama di Instansi Pusat dan
Instansi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
113 dan Pasal 115, KASN berwenang memberikan
rekomendasi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian
dalam hal:
a. pembentukan panitia seleksi;
b. pengumuman jabatan yang lowong;
c. pelaksanaan seleksi;
d. pengusulan nama calon;
e. penetapan calon; dan
f. pelantikan.
(5) Rekomendasi KASN sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4) bersifat mengikat.
(6) KASN memberikan laporan hasil pengawasan
kepada Presiden.
BAB X
PEGAWAI ASN YANG MENJADI PEJABAT NEGARA
Pasal 121
Pegawai ASN sanggup menjadi pejabat negara.
Pasal 122. . .
- 70 -
Pasal 122
Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121
yaitu:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat;
d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan
Daerah;
e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung
pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua,
dan hakim pada semua tubuh peradilan kecuali
hakim ad hoc;
f. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah
Konstitusi;
g. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa
Keuangan;
h. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
i. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi;
j. Menteri dan jabatan setingkat menteri;
k. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri
yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa
dan Berkuasa Penuh;
l. Gubernur dan wakil gubernur;
m. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota;
dan
n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh
Undang-Undang.
Pasal 123. . .
- 71 -
Pasal 123
(1) Pegawai ASN dari PNS yang diangkat menjadi ketua,
wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;
ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa
Keuangan; ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi
Yudisial; ketua dan wakil ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi; Menteri dan jabatan
setingkat menteri; Kepala perwakilan Republik
Indonesia di Luar Negeri yang berkedudukan sebagai
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh
diberhentikan sementara dari jabatannya dan tidak
kehilangan status sebagai PNS.
(2) Pegawai ASN dari PNS yang tidak menjabat lagi
sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diaktifkan kembali sebagai PNS.
(3) Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau
dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden;
ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur;
bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota
wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis
sebagai PNS semenjak mendaftar sebagai calon.
Pasal 124
(1) PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1)
sanggup menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan
Administrasi, atau Jabatan Fungsional, sepanjang
tersedia lowongan jabatan.
(2) Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu
paling usang 2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan
diberhentikan dengan hormat.
Pasal 125. . .
- 72 -
Pasal 125
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan,
pemberhentian, pengaktifan kembali, dan hak
kepegawaian PNS yang diangkat menjadi pejabat negara
dan pimpinan atau anggota forum nonstruktural
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XI
ORGANISASI
Pasal 126
(1) Pegawai ASN berhimpun dalam wadah korps profesi
Pegawai ASN Republik Indonesia.
(2) Korps profesi Pegawai ASN Republik Indonesia
mempunyai tujuan:
a. menjaga arahan etik profesi dan standar pelayanan
profesi ASN; dan
b. mewujudkan jiwa korps ASN sebagai pemersatu
bangsa.
(3) Dalam mencapai tujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) korps profesi ASN Republik Indonesia
mempunyai fungsi:
a. pembinaan dan pengembangan profesi ASN;
b. menawarkan proteksi aturan dan advokasi
kepada anggota korps profesi ASN Republik
Indonesia terhadap dugaan pelanggaran Sistem
Merit dan mengalami persoalan aturan dalam
melaksanakan tugas;
c. menawarkan rekomendasi kepada majelis kode
etik Instansi Pemerintah terhadap pelanggaran
arahan etik profesi dan arahan sikap profesi; dan
d. menyelenggarakan. . .
- 73 -
d. menyelenggarakan perjuangan untuk peningkatan
kesejahteraan anggota korps profesi ASN
Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai korps profesi
Pegawai ASN diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
SISTEM INFORMASI ASN
Pasal 127
(1) Untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi
pengambilan keputusan dalam Manajemen ASN
dibutuhkan Sistem Informasi ASN.
(2) Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan secara nasional dan
terintegrasi antar-Instansi Pemerintah.
(3) Untuk menjamin keterpaduan dan akurasi data
dalam Sistem Informasi ASN, setiap Instansi
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib memutakhirkan data secara terpola dan
menyampaikannya kepada BKN.
(4) Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) berbasiskan teknologi informasi
yang gampang diaplikasikan, gampang diakses, dan
mempunyai sistem keamanan yang dipercaya.
Pasal 128
(1) Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 127 ayat (1) memuat seluruh informasi dan
data Pegawai ASN.
(2) Data. . .
- 74 -
(2) Data Pegawai ASN sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling kurang memuat:
a. data riwayat hidup;
b. riwayat pendidikan formal dan non formal;
c. riwayat jabatan dan kepangkatan;
d. riwayat penghargaan, tanda jasa, atau tanda
kehormatan;
e. riwayat pengalaman berorganisasi;
f. riwayat gaji;
g. riwayat pendidikan dan latihan;
h. daftar penilaian prestasi kerja;
i. surat keputusan; dan
j. kompetensi.
BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 129
(1) Sengketa Pegawai ASN diselesaikan melalui upaya
administratif.
(2) Upaya administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari keberatan dan banding
administratif.
(3) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diajukan secara tertulis kepada atasan pejabat yang
berwenang menghukum dengan memuat alasan
keberatan dan tembusannya disampaikan kepada
pejabat yang berwenang menghukum.
(4) Banding administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diajukan kepada tubuh pertimbangan ASN.
(5) Ketentuan. . .
- 75 -
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya administratif
dan tubuh pertimbangan ASN sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 130
Pada dikala Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1969 ihwal Pensiun Pegawai
dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara
Republik lndonesia Tahun 1969 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 2906) dan
peraturan pelaksanaannya tetap berlaku sampai
ditetapkannya peraturan pelaksanaan dari Undang-
Undang ini yang mengatur mengenai jadwal pensiun
PNS.
Pasal 131
Pada dikala Undang-Undang ini mulai berlaku, terhadap
jabatan PNS dilakukan penyetaraan:
a. jabatan eselon Ia kepala forum pemerintah
nonkementerian setara dengan jabatan pimpinan
tinggi utama;
b. jabatan eselon Ia dan eselon Ib setara dengan
jabatan pimpinan tinggi madya;
c. jabatan eselon II setara dengan jabatan pimpinan
tinggi pratama;
d. jabatan eselon III setara dengan jabatan
administrator;
e. jabatan. . .
- 76 -
e. jabatan eselon IV setara dengan jabatan pengawas;
dan
f. jabatan eselon V dan fungsional umum setara
dengan jabatan pelaksana,
hingga dengan berlakunya peraturan pelaksanaan
mengenai Jabatan ASN dalam Undang Undang ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 132
Kebijakan dan Manajemen ASN yang diatur dalam
Undang-Undang ini dilaksanakan dengan
memperhatikan kekhususan kawasan tertentu dan warga
negara dengan kebutuhan khusus.
Pasal 133
Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 127 dan Pasal 128 paling usang tahun 2015
dilaksanakan secara nasional.
Pasal 134
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling usang 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 135
Pada dikala Undang-Undang ini mulai berlaku, PNS Pusat
dan PNS Daerah disebut sebagai Pegawai ASN.
Pasal 136. . .
- 77 -
Pasal 136
Pada dikala Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1974 ihwal Pokok-Pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia
Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Republik lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
ihwal Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974 ihwal Pokok-Pokok Kepegawaian
(Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999
Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 3890), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 137
Pada dikala Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai Kepegawaian Daerah yang diatur dalam Bab V
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) dan
peraturan pelaksanaannya, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 138
Pada dikala Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai arahan etik dan
penyelesaian pelanggaran terhadap arahan etik bagi
jabatan fungsional tertentu dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang
ini.
Pasal 139. . .
- 78 -
Pasal 139
Pada dikala Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974 ihwal Pokok-Pokok Kepegawaian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
ihwal Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara
Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan
Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3890)
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang
Undang ini.
Pasal 140
KASN dibuat paling usang 6 (enam) bulan sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 141
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar. . .
- 79 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 6
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2014
TENTANG
APARATUR SIPIL NEGARA
I. UMUM
Dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum
dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dibutuhkan ASN yang profesional,
bebas dari intervensi politik, higienis dari praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme, bisa menyelenggarakan pelayanan publik bagi
masyarakat dan bisa menjalankan kiprah sebagai perekat persatuan
dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan
nasional menyerupai tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Untuk mewujudkan tujuan nasional, dibutuhkan Pegawai ASN.
Pegawai ASN diserahi kiprah untuk melaksanakan kiprah pelayanan
publik, kiprah pemerintahan, dan kiprah pembangunan tertentu. Tugas
pelayanan publik dilakukan dengan menawarkan pelayanan atas
barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan
Pegawai ASN. Adapun kiprah pemerintahan dilaksanakan dalam rangka
penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi
pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan.
Sedangkan dalam rangka pelaksanaan kiprah pembangunan tertentu
dilakukan melalui pembangunan bangsa (cultural and political
development) serta melalui pembangunan ekonomi dan sosial (economic
and social development) yang diarahkan meningkatkan kesejahteraan
dan kemakmuran seluruh masyarakat.
Untuk. . .
- 2 -
Untuk sanggup menjalankan kiprah pelayanan publik, tugas
pemerintahan, dan kiprah pembangunan tertentu, Pegawai ASN harus
mempunyai profesi dan Manajemen ASN yang berdasarkan pada Sistem
Merit atau perbandingan antara kualifikasi, kompetensi, dan kinerja
yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kualifikasi, kompetensi, dan
kinerja yang dimiliki oleh calon dalam rekrutmen, pengangkatan,
penempatan, dan promosi pada jabatan yang dilaksanakan secara
terbuka dan kompetitif, sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang
baik.
Manajemen ASN terdiri atas Manajemen PNS dan Manajemen
PPPK yang perlu diatur secara menyeluruh dengan menerapkan
norma, standar, dan prosedur. Adapun Manajemen PNS meliputi
penyusunan dan penetapan kebutuhan, pengadaan, pangkat dan
jabatan, pengembangan karier, referensi karier, promosi, mutasi, penilaian
kinerja, penggajian dan tunjangan, penghargaan, disiplin,
pemberhentian, jaminan pensiun dan jaminan hari tua, dan
perlindungan. Sementara itu, untuk Manajemen PPPK meliputi
penetapan kebutuhan, pengadaan, penilaian kinerja, honor dan
tunjangan, pengembangan kompetensi, pemberian penghargaan,
disiplin, pemutusan kekerabatan perjanjian kerja, dan perlindungan.
Dalam upaya menjaga netralitas ASN dari efek partai politik
dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN,
serta sanggup memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada
kiprah yang dibebankan, ASN dihentikan menjadi anggota dan/atau
pengurus partai politik.
Untuk meningkatkan produktivitas dan menjamin kesejahteraan
ASN, dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa ASN berhak
memperoleh honor yang adil dan layak sesuai dengan beban kerja,
tanggung jawab, dan resiko pekerjaannya. Selain itu, ASN berhak
memperoleh jaminan sosial.
Dalam. . .
- 3 -
Dalam rangka penetapan kebijakan Manajemen ASN, dibentuk
KASN yang sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan bebas dari intervensi politik. Pembentukan
KASN ini untuk monitoring dan penilaian pelaksanaan kebijakan dan
Manajemen ASN untuk menjamin perwujudan Sistem Merit serta
pengawasan terhadap penerapan asas, arahan etik dan arahan perilaku
ASN.
KASN beranggotakan 7 (tujuh) orang yang terdiri dari seorang ketua
merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 5 (lima)
orang anggota. KASN dalam melaksanakan kiprah dan wewenangnya
dibantu oleh Asisten dan Pejabat Fungsional keahlian yang
dibutuhkan. Selain itu KASN dibantu oleh sekretariat yang dipimpin
oleh seorang kepala sekretariat. Ketua, wakil ketua, dan anggota KASN
ditetapkan dan diangkat oleh Presiden selaku kepala pemerintahan
untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat
diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Untuk menyalurkan aspirasi dalam rangka pembinaan dan
pengembangan profesi ASN, Pegawai ASN berhimpun dalam wadah
korps profesi Pegawai ASN Republik Indonesia yang bertujuan menjaga
arahan etik profesi dan standar pelayanan profesi ASN serta mewujudkan
jiwa korps ASN sebagai perekat dan pemersatu bangsa.
Dalam rangka menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi
pengambilan keputusan dalam Manajemen ASN dibutuhkan Sistem
Informasi ASN. Sistem Informasi ASN merupakan rangkaian informasi
dan data mengenai Pegawai ASN yang disusun secara sistematis,
menyeluruh, dan terintegrasi dengan berbasis teknologi yang
diselenggarakan secara nasional dan terintegrasi.
Untuk membentuk ASN yang bisa menyelenggarakan
pelayanan publik dan menjalankan kiprah sebagai perekat persatuan
dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu mengganti
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 ihwal Pokok-pokok
Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 ihwal Perubahan atas Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1974 ihwal Pokok-Pokok Kepegawaian.
II. PASAL. . .
- 4 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah
dalam setiap penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen
ASN, mengutamakan landasan peraturan perundangundangan,
kepatutan, dan keadilan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas profesionalitas” adalah
mengutamakan keahlian yang berlandaskan arahan etik dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas proporsionalitas” adalah
mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
Pegawai ASN.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah
pengelolaan Pegawai ASN didasarkan pada satu sistem
pengelolaan yang terpadu secara nasional.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas delegasi” yaitu bahwa
sebagian kewenangan pengelolaan Pegawai ASN dapat
didelegasikan pelaksanaannya kepada kementerian,
forum pemerintah nonkementerian, dan pemerintah
daerah.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas netralitas” yaitu bahwa
setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk
efek manapun dan tidak memihak kepada
kepentingan siapapun.
Huruf g. . .
- 5 -
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” yaitu bahwa
setiap kegiatan dan hasil selesai dari kegiatan Pegawai ASN
harus sanggup dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas efektif dan efisien” adalah
bahwa dalam menyelenggarakan Manajemen ASN sesuai
dengan sasaran atau tujuan dengan sempurna waktu sesuai
dengan perencanaan yang ditetapkan.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” yaitu bahwa
dalam penyelenggaraan Manajemen ASN bersifat terbuka
untuk publik.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “asas nondiskriminatif” adalah
bahwa dalam penyelenggaraan Manajemen ASN, KASN
tidak membedakan perlakuan berdasarkan jender, suku,
agama, ras, dan golongan.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “asas persatuan dan kesatuan”
yaitu bahwa Pegawai ASN sebagai perekat Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf l
Yang dimaksud dengan “asas keadilan dan kesetaraan”
yaitu bahwa pengaturan penyelenggaraan ASN harus
mencerminkan rasa keadilan dan kesamaan untuk
memperoleh kesempatan akan fungsi dan kiprah sebagai
Pegawai ASN.
Huruf m
Yang dimaksud dengan “asas kesejahteraan” yaitu bahwa
penyelenggaraan ASN diarahkan untuk mewujudkan
peningkatan kualitas hidup Pegawai ASN.
Pasal 3. . .
- 6 -
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15. . .
- 7 -
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penyelia” yaitu Pegawai
ASN yang diangkat berdasarkan keterampilan,
pendidikan, dan pengalamannya untuk
melaksanakan fungsi koordinasi dalam
penyelenggaraan jabatan fungsional keterampilan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “mahir” yaitu Pegawai ASN
yang diangkat berdasarkan keterampilan,
pendidikan, dan pengalamannya untuk
melaksanakan fungsi utama dalam Jabatan
Fungsional.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”terampil” yaitu Pegawai
ASN yang diangkat berdasarkan keterampilan,
pendidikan, dan pengalamannya untuk
melaksanakan fungsi lanjutan dalam jabatan
fungsional keterampilan.
Huruf d. . .
- 8 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”pemula” yaitu Pegawai
ASN yang diangkat berdasarkan keterampilan,
pendidikan, dan pengalamannya untuk pertama kali
dan melaksanakan fungsi dasar dalam jabatan
fungsional keterampilan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”jabatan pimpinan tinggi
utama” yaitu kepala forum pemerintah
nonkementerian.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”jabatan pimpinan tinggi
madya” meliputi sekretaris jenderal kementerian,
sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris
jenderal kesekretariatan forum negara, sekretaris
jenderal forum nonstruktural, direktur jenderal,
deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala
badan, staf andal menteri, Kepala Sekretariat Presiden,
Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer
Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan
Presiden, sekretaris kawasan provinsi, dan jabatan lain
yang setara.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”jabatan pimpinan tinggi
pratama” meliputi direktur, kepala biro, asisten
deputi, sekretaris direktorat jenderal, sekretaris
inspektorat jenderal, sekretaris kepala badan, kepala
pusat, inspektur, kepala balai besar, asisten
sekretariat kawasan provinsi, sekretaris daerah
kabupaten/kota, kepala dinas/kepala badan
provinsi, sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dan jabatan lain yang setara.
Ayat (2). . .
- 9 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Huruf a
Yang dimaksud dengan “gaji” yaitu kompensasi dasar
berupa honorarium sesuai dengan beban kerja, tanggung
jawab jabatan dan resiko pekerjaan yang ditetapkan oleh
peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26. . .
- 10 -
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Skala pengajian dan tunjangan Pegawai ASN
ditetapkan sehabis mendapatkan pertimbangan dari
menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32. . .
- 11 -
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”pejabat fungsional keahlian”
antara lain auditor kepegawaian, peneliti, perancang
perundang-undangan, dan analis kebijakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39. . .
- 12 -
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51. . .
- 13 -
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Penyusunan kebutuhan PNS merupakan analisis
kebutuhan jumlah, jenis, dan status PNS yang diperlukan
untuk melaksanakan kiprah utama secara efektif dan efisien
untuk mendukung beban kerja Instansi Pemerintah.
Ayat (2)
Penyusunan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS
ditetapkan sesuai dengan siklus anggaran.
Ayat (3)
Penetapan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS oleh
Menteri dengan memperhatikan pendapat menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan dan pertimbangan teknis dari kepala BKN.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59. . .
- 14 -
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Syarat sehat jasmani bagi penyandang disabilitas
diubahsuaikan dengan kebutuhan pelaksanaan
pekerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67. . .
- 15 -
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Instansi Pemerintah menawarkan kesempatan kepada PNS
untuk menduduki jabatan tertentu di instansi lain yang
sesuai dengan persyaratan kompetensi paling usang 1 (satu)
tahun.
Ayat (6)
Instansi Pemerintah menawarkan kesempatan kepada PNS
untuk menduduki jabatan tertentu di sektor swasta sesuai
dengan persyaratan kompetensi. Untuk memperkuat
profesionalisme PNS, instansi juga membuka kesempatan
secara terbatas dan tertentu kepada pegawai swasta untuk
menduduki jabatan ASN sesuai persyaratan kompetensi
paling usang 1 (satu) tahun.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72. . .
- 16 -
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Mutasi PNS dari Instansi Pusat ke Instansi Daerah dan
sebaliknya sehabis berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Untuk mencegah konflik kepentingan PNS yang memiliki
kekerabatan tali perkawinan dan kekerabatan darah secara
pribadi dalam satu unit kerja sanggup dimutasi pada unit
yang berbeda berdasarkan keputusan Pejabat Pembina
Kepegawaian.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77. . .
- 17 -
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “secara bertahap”, antara lain
bahwa proses perubahan sistem penggajian yang semula
berbasis pangkat golongan dan masa kerja menuju ke
sistem berbasis pada harga jabatan sehingga memerlukan
kesiapan menyusun peta jabatan dan analisis harga
jabatannya secara menyeluruh sehingga dibutuhkan waktu
yang cukup.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83. . .
- 18 -
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2). . .
- 19 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyusunan kebutuhan jumlah PPPK ditetapkan sesuai
dengan siklus anggaran.
Ayat (4)
Penetapan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK oleh
Menteri dengan memperhatikan pendapat menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan dan pertimbangan teknis dari kepala BKN.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102. . .
- 20 -
Pasal 102
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengembangan kompetensi antara
lain melalui pendidikan dan pelatihan, seminar, kursus,
dan penataran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3). . .
- 21 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Instansi Pemerintah tertentu”
yaitu sebagaimana disebutkan dalam Peraturan
Perundang-undangan yang mengatur mengenai Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Jabatan Pimpinan Tinggi pada Instansi Pemerintah tersebut
di atas diisi melalui penugasan dan penunjukan Presiden,
Panglima Tentara Nasional Indonesia, atau Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam menentukan 1 (satu) nama calon pejabat pimpinan tinggi
utama dan/atau madya, Presiden sanggup dibantu oleh tim.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”jabatan pimpinan tinggi madya di
tingkat provinsi” yaitu sekretaris kawasan provinsi.
Ayat (2). . .
- 22 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Dalam menentukan 1 (satu) nama calon pejabat pimpinan tinggi
madya di tingkat provinsi, Presiden sanggup dibantu oleh tim.
Pasal 115
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”jabatan pimpinan tinggi pratama”
yaitu sekretaris kawasan kabupaten/kota, kepala dinas
provinsi, dan kepala dinas kabupaten/kota.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119. . .
- 23 -
Pasal 119
Pernyataan pengunduran diri tidak sanggup ditarik kembali.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pernyataan pengunduran diri tidak sanggup ditarik kembali.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129. . .
- 24 -
Pasal 129
Ayat (1)
Yang dimaksud ”sengketa Pegawai ASN” yaitu sengketa
yang diajukan oleh Pegawai ASN terhadap keputusan yang
dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian terhadap
seorang pegawai.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Yang dimaksud dengan ”daerah tertentu” misalnya: kawasan yang
mempunyai otonomi khusus, kawasan tertinggal, kawasan perbatasan,
kawasan konflik, kawasan terpencil, dan kawasan istimewa.
Yang dimaksud dengan ”warga negara dengan kebutuhan
khusus” yaitu individu yang mempunyai keterbatasan fisik
(disable citizen) antara lain:
a. tunanetra, yaitu individu yang mempunyai kendala dalam
penglihatan, diklasifikasikan dalam buta total (blind) atau
rabun (low vision);
b. tunarungu yaitu individu yang mempunyai kendala dalam
telinga baik yang permanen maupun yang tidak
permanen; dan/atau
c. tunadaksa. . .
- 25 -
c. tunadaksa yaitu individu yang mempunyai gangguan gerak
yang disebabkan oleh kelainan neuromuscular dan struktur
tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akhir kecelakaan,
amputasi, dan polio.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5494
Demikian goresan pena tentang:
Download Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) | pdf
Semoga bermanfaat dan salam sukses selalu!
0 comments