Pendapat Ulama Tentang Pernikahan Dini Dalam Islam. Perkawinan dua manusia merupakan sunatullah. Hanya saja sebelum masuk ke dunia rumah tangga, keduanya dipastikan benar-benar siap dan mengerti maksud komitmen perkawinan. Lalu bagaimana dengan calon mempelai yang terdiri atas anak-anak di bawah umur?
Masalah ini juga membelah pendapat ulama. Jumhur atau secara umum dikuasai ulama memandang umur bukan bab dari kriteria calon mempelai. Oleh karenanya, mereka menganggap sah perkawinan anak kecil di bawah umur. Hal ini disebutkan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli berikut ini:
ولم يشترط جمهور الفقهاء لانعقاد الزواج: البلوغ والعقل، وقالوا بصحة زواج الصغير والمجنون. الصغر: أما الصغر فقال الجمهور منهم أئمة المذاهب الأربعة، بل ادعى ابن المنذر الإجماع على جواز تزويج الصغيرة من كفء
Artinya, "Mayoritas ulama tidak mensyaratkan baligh dan aqil untuk berlakunya komitmen nikah. Mereka beropini keabsahan perkawinan anak di anak-anak dan orang dengan gangguan jiwa. Kondisi anak di bawah umur, berdasarkan jumhur ulama termasuk ulama empat madzhab, bahkan Ibnul Mundzir mengklaim ijmak atau konsensus ulama tentang kebolehan perkawinan anak di anak-anak yang sekufu,"
(Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VII, halaman 179).
Pandangan jumhur ulama ini didasarkan pada sejumlah riwayat hadits yang berkenaan dengan perkawinan anak di bawah umur. Sedangkan beberapa ulama menolak perkawinan anak di bawah umur. Mereka mendasarkan pandangannya pada Surat An-Nisa ayat 6 yang membatasi usia perkawinan sebagai kutipan berikut ini:
المبحث الأول ـ أهلية الزوجين :يرى ابن شبرمة وأبو بكر الأصم وعثمان البتي رحمهم الله أنه لا يزوج الصغير والصغيرة حتى يبلغا، لقوله تعالى: {حتى إذا بلغوا النكاح} [النساء:6/4] فلو جاز التزويج قبل البلوغ، لم يكن لهذا فائدة، ولأنه لا حاجة بهما إلى النكاح. ورأى ابن حزم أنه يجوز تزويج الصغيرة عملاً بالآثار المروية في ذلك. أما تزويج الصغير فباطل حتى يبلغ، وإذا وقع فهو مفسوخ
Artinya, "Pembahasan pertama, kriteria calon mempelai. Ibnu Syubrumah, Abu Bakar Al-Asham, dan Ustaman Al-Bitti RA beropini bahwa anak kecil pria dan wanita di anak-anak dihentikan dinikahkan hingga keduanya baligh, berdasarkan ‘Sampai mereka mencapai usia nikah,’ (Surat An-Nisa ayat 6). Kalau juga perkawinan dilangsungkan sebelum mereka baligh, maka perkawinan itu pun tidak memperlihatkan manfaat alasannya keduanya belum berhajat pada perkawinan. Ibnu Hazm beropini bolehnya perkawinan anak kecil wanita di anak-anak dengan dasar sejumlah riwayat hadits tentang ini. Sedangkan komitmen perkawinan anak kecil pria di anak-anak batal hingga anak itu benar-benar baligh. Kalau perkawinan juga dilangsungkan, maka beliau harus difasakh,"
(Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H] cetakan kedua, juz VII, halaman 179).
Dari keterangan ini, kita sanggup menarik final bahwa ulama berbeda pendapat tentang masuk atau tidaknya umur sebagai kriteria calon mempelai. Ini yang membedakan persetujuan dan penolakan atas perkawinan anak di bawah umur.
Meskipun jumhur ulama mendapatkan perkawinan anak di bawah umur, hanya saja kita perlu mempertimbangkan terutama problem kesiapan psikologis dan kematangan nalar pikiran calon mempelai sebelum melangkah ke jenjang perkawinan.
Kami sendiri oke dengan pendapat Ibnu Syubrumah dan beberapa ulama yang menolak perkawinan di anak-anak alasannya perkawinan memerlukan kesiapan mental, kedewasaan berpikir, dan juga kematangan fisik untuk menafkahi keluarga, bukan sekadar pertimbangan biologis.
Kami menyarankan batas minimal usia calon mempelai mengikuti ketetapan yang dibentuk oleh pemerintah. Kalau umur calon mempelai terlalu jauh di bawah umur, perkawinan akan jauh dari tujuan dan dikhawatirkan kandas di tengah jalan di samping mudarat yang lebih besar.
Referensi: http://www.nu.or.id
0 comments